Jumat 01 Mar 2019 14:43 WIB

NU Rekomendasikan Hindari Istilah Kafir untuk Non-Muslim

Istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Munas NU. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj memberikan sambutan pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Munas NU. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj memberikan sambutan pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, menyampaikan hasil bahtsul masail (kajian masalah) hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019. Beberapa keputusan itu menyangkut persoalan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Kiai Said menyebutkan, hasil yang pertama yaitu ihwal istilah kafir. Berdasarkan hasil bahtsul masail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa. Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi. 

Baca Juga

Dia menjelaskan, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad SAW di Makkah untuk menyebut orang orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci dan tidak memiliki agama yang benar. 

“Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim. Ada tiga suku non-Muslim di sana tapi tak disebut kafir,” kata Said  dalam pidato penutupan Munas dan Konbes NU, di Kota Banjar, Jawa Barat, Jum'at (1/3).

Persoalan kedua, kata Said, bahtsul masail juga memutuskan tak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa kecuali Mahkamah Agung.

Sebab menurutnya Indonesia bukanlah darul fatwa, atau pun negara agama. Kendati begitu, kata dia tak boleh ada warga negara Indonesia yang tak beragama. “Tak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa kecuali mahkamah agung. NU tak mengenal fatwa, adanya hasil musyawarah,” katanya.  

Selain itu, jelas Said, tak boleh ada satu lembaga manapun yang berhak mengatasnamakan diri sebagai mufti yang memegang otoritas fatwa. 

Terkait sampah plastik, Kiai Said mengatakan NU merekomendasikan penyelesaian penanganan sampah plastik harus memasukan elemen budaya sehingga terbangun cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap pentingnya menghindarkan diri dari sampah plastik. 

“Orang-orang yang membuang sampah plastik sembarangan merupakan orang yang melakukan kerusakan,” katanya.  

Kiai Said juga menjelaskan tentang bahtsul masail yang membahas tentang hukum money game. Berdasarkan hasil bahtsul masail  money game dengan sistem multi level marketing yang mengandung unsur manipulasi, kezaliman, dan menyalahi syarat akad Islam serta mendaparkan bonus berupa barang maka hukum haram dilakukan. 

“Tapi kalau memenuhi syarat transparan dan mendapatkan bonus selain barang itu dihalalkan,” katanya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement