Jumat 01 Mar 2019 14:56 WIB

Said Aqil Jelaskan Perbedaan Kafir dan Non-Muslim

Istilah kafir dan non-Muslim dinilai PBNU sebagai konteks yang berbeda.

Munas NU. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj memberikan sambutan pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Munas NU. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj memberikan sambutan pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR -- Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan, istilah kafir dan non-Muslim sebagai konteks yang berbeda merujuk pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.

"Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi," kata Said dalam penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat (1/3).

Baca Juga

Said meneragkan, pada masa awal dakwah Islam, Rasulullah SAW menyebut kafir bagi para penyembah berhala, klenik dan semacamnya. Setelah periode hijrah dari Mekkah ke Madinah, istilah kafir sering disebut sebagai non-Muslim.

Istilah itu kerap digunakan dalam konteks ketatanegaraan di Madinah sehingga setiap warganya memiliki hak yang sama baik itu Muslim maupun non-Muslim. Said mengatakan, penegasan kafir dan non-Muslim itu dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah yang fokus pada penjelasan tematik.

Komisi itu juga membahas soal pandangan Islam dalam menyikapi bentuk negara bangsa dan produk perundangan atau kebijakan negara yang dihasilkan oleh proses politik modern. Forum itu merupakan bagian dari kegiatan Munas-Konbes NU 2019.

Sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya. Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dengan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis bahkan agama.

Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat yang berdaulat di hadapan bangsa/ umat lainnya tanpa diskriminasi.

Moqsith mengatakan kata kafir sering disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri. Bahtsul Masail Maudluiyah pun kemudian memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.

"Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis," katanya.

Ia mengatakan, para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan Non-Muslim di dalam sebuah negara.

"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya.

Meski demikian, kata Moqsith , kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Hanya saja, penyebutankafir terhadap non-Muslim di Indonesia tidak bijak.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement