Jumat 01 Mar 2019 14:36 WIB

Haedar: Dukungan Islam Terhadap Perdamaian Begitu Besar

Islam menginginkan tiap bangsa makmur dan berkah.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir
Foto: Republika TV/Fian Firatmaja
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyatakan dukungan Islam yang begitu besar terhadap upaya mewujudkan perdamaian.

"Islam itu sangat apresiasi, bahkan menjadi pro terhadap nilai-nilai perdamaian di manapun bangsa itu hidup," kata Haedar dalam Dialog bertajuk Islam, Kebangsaan dan Perdamaian di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia, Kamis (28/2). 

Baca Juga

Dia menyebutkan Islam, menginginkan tiap bangsa makmur sebagaimana misi kekhalifahan manusia. Islam menginginkan tiap negeri dan bangsa mendapat berkah dengan nilai-nilai iman dan taqwa menjadi konstruksi bangsa. 

Perdamaian, kata dia, juga sudah menjadi cita-cita bangsa sejak Indonesia berdiri, jauh sebelum kita melewati zaman penjajahan. Artinya, Indonesia memang bukan bangsa yang sekali jadi, melainkan melewati perjuangan panjang mengusung cita-cita. 

"Hatta (Mohammad Hattta) saja, untuk memilih nama Indonesia dibandingkan nama-nama lain seperti Nusantara, pergulatannya luar biasa," ujar Haedar. 

Setelah pergerakan nasional tokoh-tokoh memilih nama Indonesia, Sumpah Pemuda menguatkan itu. Dari sana, ditekankan betul kalau Indonesia bukan cuma berarti raga atau fisik. 

Selain itu, Soepomo, pada pidatonya di BPUPKI menegaskan kalau Indonesia itu bernyawa. Penegasan itu semakin menjelaskan tidak mudahnya bangsa Indonesia ini terbentuk. 

Perjuangan turut tercermin dari bagaimana bahasa Melayu diperkenalkan sebagai bahasa Indonesia. Terlebih, bahasa itu dapat dibilang hanya berasal dari suku kecil.

Dia menjelaskan, Muhammadiyah sendiri sejak berdiri pada 1915 menggunakan bahasa Jawa turut memperkenalkan bahasa Melayu. Utamanya, setelah kerja sama Ahmad Dahlan dan Budi Utomo.

Sayangnya, hari ini, dia melihat negara sendiri sering menambah beban rakyat dan umat. Siapapun rezimnya, ketika kehilangan narasi iqra’ yaitu mencerahkan dan manfaat, akhirnya menjadi kekuasaan yang lupa amanah. 

"Kita tentu tidak ingin mereka (pemimpin/penguasa) seperti sosok, Umar bin Abdul Aziz misalnya, tapi paling tidak mereka memiliki komitmen untuk jadi pelayan umat, pelayan rakyat," ujar Haedar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement