Jumat 18 Jan 2019 06:36 WIB

Menag Imbau Umat Pahami Aturan Rumah Ibadah

PBM tersebut masih relevan dalam mengatur kehidupan beragama di Indonesia.

Rep: Novita Intan/ Red: Muhammad Hafil
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengimbau umat beragama di Indonesia dapat membaca dan memahami Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006. PBM ini mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah.

Hal ini menyikapi perbincangan yang mencuat di tengah masyarakat mengenai polemik pendirian rumah ibadah sebagaimana yang terjadi di Medan baru-baru ini.

"Jadi PBM bukan rumusan yang datang dari pemerintah. Sementara yang membuat, merumuskan dan mensepakati adalah wakil dari majelis agama,” ujarnya seperti dilansir dari laman Kementerian Agama (Kemenag), Kamis (17/1).

Menurut Menag, PBM merupakan kristalisasi hasil musyawarah pimpinan umat beragama yang mewakili majelis-majelis agama. Kementerian Agama bersama Kementerian Dalam Negeri pada 2006 telah memfaslitasi tokoh dan pemuka agama untuk melakukan serangkaian diskusi guna merumuskan ketentuan terkait rumah ibadah dan upaya menjaga kerukunan.

“Saya mengimbau kepada segenap kita umat beragama untuk benar-benar bisa membaca dan memahami isi ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut. Semuanya itu diberlakukan justru dalam rangka menjaga kehidupan bersama di tengah tengah keragaman dan perbedaan," lanjutnya.

Pasal 14 PBM 2006 ini misalnya, mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Ditegaskan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

“Jika persyaratan itu belum terpenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat,” tegas Menag.

Menag berpandangan, PBM tersebut masih relevan dalam mengatur kehidupan beragama di Indonesia, utamanya terkait pendirian rumah ibadah. Bagaimana pun juga Indonesia dikenal dengan masyarakat yang beragam dan majemuk. Untuk itu, harus ada rumusan yang disepakti bersama yang isinya mengatur kehidupan bersama, khususnya dalam pendirian rumah ibadah.

Selama belum ada aturan penganti yang lebih baik, kata Menag, menghilangkan PBM tersebut justru lebih berbahaya. Sebab, akan menimbukan ketidakpastian hukum.

"Dan aparat penegak hukum tidak bisa bekerja karena tidak ada aturan yang disepkati bersama dan menjadi dasar dalam menegakan hukum," tutup Menag.

"Keberadaan Peraturan Bersama Menteri ini menurut hemat saya masih relevan diperlukan oleh bangsa ini dalam menjaga kehidupan umat beragama," kata Menag.

Apalagi, lanjut Menag, PBM merupakan kristalisasi hasil musyawarah pimpinan umat beragama yang mewakili majelis-majelis agama. Kementerian Agama bersama Kementerian Dalam Negeri pada 2006 telah memfaslitasi tokoh dan pemuka agama untuk melakukan serangkaian diskusi guna merumuskan ketentuan terkait rumah ibadah dan upaya menjaga kerukunan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement