Sabtu 08 Dec 2018 15:42 WIB

Alumni Timur Tengah Bersinergi Jaga Kesatuan Bangsa

Semenjak demokrasi diterapkan kondisi Indonesia mulai tak stabil.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Gita Amanda
Wakil Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Ikhwanul Kiram Mashuri.
Foto: ROL
Wakil Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Ikhwanul Kiram Mashuri.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok menggelar seminar kebangsaan dengan tema "Peran Alumni Timur Tengah dalam Meneguhkan Oslam Berwawasan Kebangsaan", pada Sabtu (8/12) di Depok, Jawa Barat. Seminar ini menghadirkan tiga narasumber yang juga merupakan alumni universitas ternama di Timur Tengah.

Wakil Direktur Eksekutif International Conference of Islamic Schoars (ICIS) Hariri Makmun menganggap, semenjak demokrasi diterapkan sebagai sistem bernegara, kondisi Indonesia mulai tidak stabil. Ditambah dengan pandangan yang menurutnya semakin liberal paska reformasi.

“Sistem yang berlaku di Indonesia banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan cenderung merusak nilai Pancasila,” kata Hariri saat menyampaikan materi tentang Kebangsaan di depan santri Pesantren Al-Hikam Depok, Sabtu (8/12).

Dia menjelaskan, berkembangnya paham komunis juga menjadi salah satu ancaman yang terus mengintai keutuhan Pancasila. Meski kini kelompok komunis di Indonesia dianggap telah punah, namun berbeda dengan pandangan dan cara pikir yang bisa saja semakin meluas.

Selain itu, pandangan ekstremis suatu pemeluk agama, kata Hariri juga dapat menjadi alasan pemecah persatuan. Anggapan bahwa hanya agamanya yang benar, sedangkan agama lainnya salah, tentu berpotensi menimbulkan perpecahan.

“Pandangan sekularisme juga dapat menjadi alasan pecahnya kesatuan bangsa,” tambah dia.

Dia mengingatkan, meski merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, Indonesia bukanlah negara Islam. Walaupun dasar hukum dan ideologi Indonesia banyak yang merujuk pada falsafah Islam.

Jika melihat kondisi bangsa saat ini, upaya pengislaman negara telah menjadi impian hampir seluruh kelompok garis keras, dan pandangan wasatiyah dianggap berpihak pada pemerintah. Menurut Hariri, hal inilah yang perlu dikaji lebih dalam, dan mengingat bagaimana perjuangan para pendiri bangsa.

“Maka jika ideologi Indonesia berubah menjadi negara Islam, maka tentu tidak akan jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Mesir, di mana perpecahan dan konflik terjadi di mana-mana,” kata dia.

“Jadi yang terpenting saat Ini adalah bagaimana menjaga ideologi yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dahulu,” lanjut Hariri.

Pembina Al-Ghana Institute, Habib Hamid bin Ja’far Al Qadri beranggapan konflik dan keributan yang kerap terjadi di Indonesia tidak akan lepas dari pengaruh perdebatan global. Dia juga mengganggap, setiap konflik yang terjadi merupakan proses alam untuk mencapai suatu kondisi yang indah.

“Maka dalam perspektif ini menganggap bahwa apa yang terjadi adalah sebuah sunatullah yang wajar saja terjadi,” kata Habib Hamid.

Wakil Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Ikhwanul Kiram Mashuri mengatakan, jika berbicara mengenai kebangsaan, tentu tidak akan lepas dari sosok KH Hasyim Muzadi. KH Hasyim Muzadi, bagi Ikhwanul merupakan panutan dari penerapan sistem kerukunan beragama.

Salah satu ilmu yang pernah disampaikan KH Hasyim adalah pandangan umat Muslim bahwa Islam adalah agama terbaik. Meski begitu, pemeluk agama lain juga berhak berpandangan bahwa agama mereka adalah agama terbaik.

“KH Hasyim Muzadi selalu berpesan, sebagai umat Muslim, pada saat berhadapan dengan pemeluk agama lain, maka kita harus menghormati pendapat mereka mengenai agama mereka,” ujar mantan pemimpin Redaksi Harian Republika itu.

Ikhwanul menjelaskan, selama menuntut ilmu di Timur Tengah, tidak pernah dia temui ada seorang mahasiswa atau pelajar Indonesia yang sengaja mengikuti kelompok garis keras. Hal ini tentu menyadarkan, bahwa Timur Tengah dapat terus menjadi destinasi pendidikan yang baik bagi pelajar Indonesia.

Dia juga mengganggap, selama ini para alumni Timur Tengah, yang kebanyakan berpemikiran wasatiyah, jarang ditemui keberadaannya. Mengingat kurangnya eksistensi para alumni dalam berdakwah, baik secara langsung maupun melalui media mainstream.

“Panggung dakwah itu tidak dikuasai oleh kita, dan justru dikuasai oleh ulama non wasatiyah. Kenapa? Karena kita ini tidak terorganisir. Berbeda dengan kelompok garis keras yang sangat terorganisir peredarannya,” kata Ikhwanul.

“Kesimpulan saya, kita (alumni Timur Tengah) harus berdakwah dengan konsep yang matang dan teroganisir, bukan dengan cara sendiri-sendiri,” lanjut dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement