Selasa 27 Nov 2018 05:01 WIB

Memahami Kekuasaan Jawa: Islamisasi itu Berpusat di Keraton?

Ulama harus memastikan seberapa jauh kebijakan itu tidak untuk eksploitasi

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh: Prof DR Hermanu Joebagio, Guru Besar Universiras Sebelas Maret Solo.

Setelah Palihan Nagari (pembelahan wilayah Mataram) menjadi dua wilayah Surakarta dan Yogyakarta, apakah ada pihak atau salah satu dinasti yang bisa menyebutkan sebagai satu-satunya pewaris keturunan takhta Mataram Islam?

Faktanya, akibat penyerahan Pesisir Utara Jawa kepada VOC oleh Pakubuwono (PB) II ketika berakhirnya Geger Pacinan di Kartasura menimbulkan gerakan perlawanan yang dimotori Raden Mas Said, Pangeran Singasari, dan Pangeran Mangkubumi. Gerakan perlawanan ini berlangsung hingga pemerintahan PB III.

Bagi kompeni, munculnya separatisme politik itu akan mengganggu stabilitas politik dan menguras anggaran belanja kompeni. Karena itu, pemecahan yang diajukan kompeni adalah membagi Kerajaan Mataram menjadi tiga wilayah kekuasaan politik. Pembagian itu disebut Palihan Nagari dan dilaksanakan melalui dua perjanjian politik, yaitu Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).

Palihan Nagari menunjukkan ketidakberdayaan elite politik membangun konsensus politik guna mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Ada dua hal yang mendorong ketidakberdayaan: (pertama) lemahnya hubungan antareliet politik pusat dan daerah, (kedua) lemahnya hubungan antarelite politik dan kekuatan sosial lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai jejaring menciptakan stabilitas politik. Padahal, dengan kuatnya stabilitas politik, raja sangat mudah menentukan sikap dalam hubungannya dengan VOC.

Babak akhir dari Palihan Nagari adalah menyisakan persoalan penataan birokrasi, batas wilayah, militer, pembentukan pemerintahan desa, dan pemulihan perekonomian kerajaan. Penataan birokrasi membutuhkan biaya besar, sedangkan masing-masing kerajaan tidak memiliki anggaran.

Ketika PB III wafat dan digantikan oleh putra mahkota (PB IV), dan menyatakan berkehendak membatalkan Palihan Nagari. Sejarawan Ann Kumar dalam The Diary of Javanese Muslim: Religion, Politics and the Pesantren mengemukakan bahwa PB IV merevitalisasi birokrasi dengan memasukkan ulama sebagai penasihat raja. Sejatinya ulama telah memiliki birokrasi sendiri yang disebut reh-pengulon yang sifatnya memberi pengajaran agama Islam dan mengelola masjid di bawah kekuasaan keraton. Eksistensi ulama di Kasunanan adalah kekuatan untuk proses rekruiting kekuatan politik. Faktor ini dipandang mengkhawatirkan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.

Melihat konstelasi politik di atas tidak mungkin ada satu 'keturunan Mataram' mengklaim dirinya paling berhak berkuasa atas empat reruntuhan kekuasaan Mataram, yakni Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, maupun Pakualaman, karena mereka masih satu keturunan.

Apa yang dimaksud Mataram Islam? Apakah Islam yang Mataram atau Mataram yang Islam? Sebenarnya dalam Sejarah Indonesia, tidak ada istilah Mataram Islam karena Mataram merupakan kelanjutan dari Kerajaan Demak. Perpindahan menuju pedalaman Jawa Tengah untuk mencegah pertikaian politik, dan tentu sebagai landasan membangun stabilitas politik.

Di Kerajaan Demak, pada masa Raden Patah, sistem politik yang dibangun berpijak pada relasi harmonis antara raja dan ulama. Relasi politik itu baik dalam perspektif kehidupan demokrasi masa kini, tetapi bisa menimbulkan intrik politik apabila ulama dalam proses suksesi turut memihak kepada salah satu elite politik yang dipersepsikan akan membangun relasi-relasi positif dengan kelompok ulama.

Untuk menjaga proses relasi harmonis itu, Sultan Agung membangun kebijakan politik keraton sebagai pusat Islamisasi di Jawa, dan Islam sebagai "centre point of Javanese culture. Kebijakan ini tidak dimaksudkan sebagai kekuatan ideologis, tetapi sekadar sebagai kekuatan legitimasi politik. Tidak mengherankan bila Sultan Agung menempatkan Islam sebagai primus inter pares.

Benarkah eksistensi kerajaan pelanjut didirikan atas landasan wahyu? Sebab, fakta menyatakan secara jelas betapa SK Gubernur Jenderal VOC itu merupakan wahyu atau legitimasi yang sesungguhnya dari Kerajaan Mataram yang ada di Surakarta maupun Yogyakarta? Saya memandang wahyu sebuah konsep politik, yang sifatnya memutlakkan. Bila dianalisis secara mendalam, wahyu berkaitan dengan bahasa dan simbol kebesaran raja, yang tecermin dalam gelar 'Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah'. Implikasi gelar itu adalah tuntutan membangun dialektika relasi antarindividu/masyarakat dan raja, dan dialektika relasi itu dapat ditafsirkan sebagai tindakan pribadi/kelompok sosial dengan elite penguasa.

Pada sisi lain, karena raja memeluk agama Islam, sebuah agama yang relatif baru di mata rakyat, maka agama Islam dipersepsikan individu/masyarakat memberi harapan akan terwujudnya tatanan sosial baru.

Dengan landasan agama Islam dan prinsip politik feodalisme yang dianut kerajaan Nusantara, semestinya pengangkatan seorang raja tidak berdasarkan paradigma wahyu, tetapi calon raja sudah dipersiapkan sejak semula untuk memegang kendali pemerintahan berikutnya. Calon itu bergelar Pangeran Hangabehi (di Kasunanan, Surakarta) atau Pangeran Mangkubumi (di Kasultanan Yogyakarta).

Pengangkatan raja memang harus mendapat persetujuan Gubernur Jenderal Belanda karena dalam pikiran mereka, calon raja harus bisa bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, dan tidak melakukan kegiatan-kegiatan bersifat politis. Karena itu, sebelum diangkat calon raja harus menandatangani perjanjian politik dengan Pemerintah Belanda, cq. Gubernur Jenderal.

Kalau di kesultanan zaman Demak raja tak berkuasa absolut karena ada dewan ulama atau wali. Lalu, apakah di Kerajaan Mataram Islam kemudian malah raja berkuasa mutlak atau tak terbatas? Memng  pada zaman Kerajaan Demak, paradigma politik yang dianut adalah decending of power atau religio political power. 'Descending of power' merupakan sistem politik yang dipengaruhi oleh kekuatan agama, dan dalam sistem itu ulama yang bersinergi dengan kekuatan politik berperan memberi fatwa terhadap kebijakan publik yang diberlakukan raja. Peran ulama itu untuk menekan gejolak politik yang mungkin dapat mengganggu stabilitas keamanan saat kebijakan publik diberlakukan.

Artinya, ulama yang berada di sekitar lingkaran kekuasaan dimungkinkan membatalkan kebijakan publik yang dipandang tidak berpihak kepada rakyat, atau kebijakan itu memang dibutuhkan untuk pengorbanan demi keutuhan negara. Dengan demikian, ulama harus memastikan seberapa jauh kebijakan itu tidak untuk eksploitasi, tetapi demi kepentingan negara.

                              *****

Transendensi konsep kekuasaan Jawa tidak saja berpijak pada prinsip etika dan moral, tetapi juga mempertimbangkan persoalan-persoalan legitimasi politik yang mungkin dapat dipetik melalui kebijakan publik itu. Jadi, peran ulama di situ adalah sebagai arbitrase untuk menciptakan kestabilan politik pada awal dekade kekuasaan Demak.

Stabilitas politik yang tercipta ini kemudian mendorong oleh relasi-relasi yang mengesankan antara variabel-variabel politik, misalnya lembaga politik, pembangunan ekonomi diperankan oleh para pedagang, dan partisipasi seluruh elemen politik. Dengan kata lain, relasi antarkomponen politik yang meliputi elite politik, ulama dan rakyat (petani, pedagang, dan buruh) memicu terbentuknya kesatuan politik Kerajaan Islam Demak.

Descending of power itu pun  tidak berlangsung lama. Karena, konsep religio political power oleh pewaris takhta Mataram dipandang sebagai pembagian kekuasaan dengan ulama. Karena itu, timbul keinginan untuk melakukan subordinasi sehingga relasi kesepadanan politik antara raja dan ulama bisa ditiadakan.

Namun, adanya persepsi elite politik seperti ini justru kemudian mengoyak stabilitas politik, dan pada sisi lain berakibat fatal bagi Kerajaan Islam Demak, yakni memunculkan perpecahan yang berakhir dengan keruntuhan. Dan, dalam hal ini paling tidak ada da dua faktor penyebab perpecahan tersebut.

Pertama, besarnya intrik, provokasi, dan faksionalisme dalam konstelasi politik kerajaan tradisional itu. Persoalan intrik, provokasi, dan faksionalisme ini adalah juga sebagai akibat besarnya jumlah keluarga raja. Mereka berkepentingan untuk menguasai kekuasaan.

Sementara itu, aristokrat yang berseberangan dengan arus politik kerajaan distigma sebagai oposisi. Mereka disantrikan untuk memperdalam ilmu agama Islam di pesantren pilihan raja. Makna disantrikan adalah disingkirkan dari konstelasi politik, dan tindakan itu justru menguntungkan proses Islamisasi.

Pada sisi lain, tindakan penyantrian memacu tumbuhnya konflik antara aliran traditional Javanese mysctism dan orthodox legalistic Islam. Yang menarik dari kasus di atas adalah anak-pinak kelompok oposisi pada pertengahan abad ke-19 melancarkan gerakan protes bersifat periferal dan semiperiferal dengan basis ideologi Islam. Gerakan perlawanan keagamaan itu merupakan embrio gerakan perlawanan abad ke-20.

Kedua, di dalam lingkaran ulama juga terjadi perdebatan mengenai urgensi para ulama melibatkan diri dalam politik praktis di Kerajaan Islam Demak.

Salah satu ulama yang menentang aktivitas politik praktis itu adalah Syekh Siti Jenar. Dia berpendapat, ulama harus dapat memisahkan antara kepentingan dunia dan agama. Dia khawatir tangan suci ulama terbelit kotoran darah. Inti pemikiran keagamaan Syekh Siti Jenar berfokus pada persoalan kesalehan personal, bukannya pada kesalehan sosial yang dibutuhkan masyarakat.

Namun, pemikiran Syekh Siti Jenar justru dijadikan pedoman elite politik pada pertengahan abad ke-17 untuk memutus relasi dengan ulama. Pemutusan relasi itu membangun struktur sosial baru yang disebut manunggaling kawula gusti.

Kemudian ada pernyataan lagi, benarkah raja Mataram bisa mengubah ketentuan ‘paugeran’ dengan begitu saja? Dan, apakah paugeran dan klaim atas perjanjian leluhur itu mitos untuk melegitimasi kekuasaan? Kalau yang dimaksud dengan paugeran itu adalah gelar raja, bisa diubah atau disederhanakan karena masifnya modernisasi. Dalam buku Nancy K Florida berjudul Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial mengungkapkan bahwa gelar 'Sayidin Panatagama Khalifatullah' tidak sesuai lagi disandang seorang raja, dan lebih cocok disandang oleh ulama karismatik. Karena itu, klaim perjanjian luhur merupakan mitos untuk melegalkan status mereka.

Apakah konsep manunggaling kawula gusti sekarang masih dilaksanakan? Ataukah sekadar klaim atau mitos yang jauh dari fakta? Manunggaling kawula gusti merupakan implikasi dari kekuasaan berparadigma Ilahiyah. Dan, kekuasaan Ilahiyah adalah bentuk kekuasaan absolute. Prinsip manunggaling kawula-gusti bermakna ganda, yakni: (pertama) memisahkan secara tegas antara kawula dan gusti, (kedua) adanya kesederajatan antara kawula dan gusti, (ketiga) mencari dukungan politik kawula.

Dalam konteks kekuasaan Ilahiyah, pada satu sisi ada garis pemisah antara gusti dan kawula, tetapi pada sisi lain kawula adalah kekuatan legitimasi politik.

Sampai sejauh mana peran gubernur jenderal VOC  dan Hindia Belanda untuk menaikkan dan menurunkan seorang raja Mataram pasca tahun 1830 atau ketika kerajaan di Jawa Tengah ini benar-benar mutlak berada di genggaman penguasa kolonial? Peran gubernur jenderal VOC hanya pada proses penentuan putra mahkota. Dalam proses penaikan gubernur jendral hanya mengikat perjanjian dengan raja. Meskipun demikian, gubernur jenderal tidak serta-merta dapat memilih calon raja. Pencalonan putra mahkota tetap merupakan hak prerogatif raja.

Di sinilah perlu dipahami bahwa meskipun kerajaan secara politis berada di bawah genggaman penguasa kolonial, tidak benar bahwa proses penaikan dan penurunan raja juga dikendalikan penguasa kolonial sepenuhnya. Dalam hal ini, intervensi gubernur jenderal hanya terjadi di saat yang diperlukan.

Bagaimana Anda melihat situasi di Keraton Yogya saat ini? Benarkah raja harus seorang laki-laki dan bisa diputuskan begitu saja. Fakta mengatakan musyawarah keluarga kerap dilakukan dalam menentukan posisi raja? Permasalahan di Keraton Yogyakarta itu bersifat multidimensi. Bisa dipandang dari aspek internal keluarga, sistem sosial patriarki dan historis, bahkan politis-ekonomis. Memang dari perspektif historis bisa dilihat bahwa penentuan putra mahkota adalah hak prerogatif raja. Tapi, itu tidak bisa serta-merta menjadi patokan. Suksesi selalu berjalan sesuai dengan konteks zaman.

Perlukah rakyat gelisah melihat polemik yang muncul di Yogya dan Solo (misalnya soal polemik perggantian raja)? Bagaimana menyikapinya? Jawabnya sederhana saja. Rakyat tidak perlu gelisah karena itu adalah permasalahan internal keluarga. Bagaimanapun rakyat hanya bisa mengawal proses itu. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri jika nantinya rakyat akan terbawa arus. Hal itu perlu dipahami bahwa rakyat masih memperhatikan Keraton, tidak dari aspek politik, tapi sebagai cultural heritage belaka.

 

* Prof DR Hermanu Joebagio, Guru besar sejarah Politik Islam Universiras Sebelas Maret Solo. ahir di Madiun, 3 Maret 1956. Dia adalah guru besar Sejarah Politik Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Menyelesaikan program doktornya di UIN Sunan Kalijaga dengan disertasi bertajuk Politik Islam di Kasunanan Surakarta pada 2010.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement