Rabu 22 Aug 2018 10:09 WIB

Haedar Nashir: Jadikan Idul Adha Spirit Rohaniah Umat

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir shalat Ied di halaman Bank Indonesia.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah menyampaikan sejumlah pesan dalam perayaan hari raya Idul Adha 1439H kepada masyarakat Indonesia. Salah satu yang paling ditekankan adalah menjadikan Idul Adha sebagai semangat rohaniah.

"Alhamdulilah kita seluruh umat Muslim di Tanah Air hari ini menunaikan Idul Adha. Pesan kami yang pertama, Idul Adha itu dijadikan spirit rohaniah," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir usai menjalankan shalat ied di halaman Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (22/8).

Sebab, ia beranggapan, spirit rohaniah mampu menjadikan setiap insan selalu dekat dengan Allah SWT. Dampaknya, kita akan selalu menjadi orang yang berbuat kebaikan tulus, bukan termasuk golongan yang menghindari keburukan.

Haedar juga meyakini jiwa rohaniah mampu menjadi benteng terbesar untuk bangsa Indonesia. Benteng tersebut menjadikan setiap insan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain.

"Tidak akan ada korupsi, biarpun banyak kesempatan, tidak akan sewenang-wenang biarpun banyak peluang, dan juga tidak kalah penting berbuat kebaikan," ujar dia.

Kedua, Haedar menekankan tradisi berkurban harus menjadi budaya berbagi kepada orang yang membutuhkan. Sekaligus, menjadi spirit untuk belajar berkurban bagi kepentingan bangsa dan negara.

Ia mencontohkan, bagaimana politik dan ekonomi menjadikan orang berkuasa menganiaya dirinya melampaui takaran atau kemampuan. Artinya, perebutan posisi yang berlebihan itu, membuat kepentingan rakyat malah terabaikan.

"Kalau pak presiden (Joko Widodo) selalu mengatakan satu persen menguasai sebagian besar kekayaan, yang satu persen itu harus belajar berkurban untuk bangsa dan negara biar terbuka peluang untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak," kata Haedar.

Ketiga, ia mengingatkan dalam kehidupan apapun di dunia, baik sosial, politik, ekonomi, negara, dan masyarakat, memerlukan etika. Sehingga, nilai baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas itu lahir dari dalam, bukan karena aturan. Sebab, menurut dia aturan adalah soal hukum atau sistem.

Kendati demikian, ia meyakini, bangsa Indonesia memiliki religius yang bagus dalam kehidupan masyarakat. Namun, harus ada kesadaran tinggi menjadikan itu sebagai budaya kolektif untuk selalu memupuk semangat berkurban, mengedepankan kepentingan umum, dan tidak mempertuhankan kepentingan diri secara berlebihan.

"Wajar manusia mementingkan diri, kemudian golongan, dan mungkin juga orientasi politik, wajar, tapi ada batas-batas dimana etika itu mengajak mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, mana yang buruk, mana yang pantas, mana yang tidak pantas. Saya pikir saatnya peradaban publik seperti ini," tutur Haedar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement