Rabu 25 Apr 2018 12:33 WIB

Hubungan Agama, Negara, dan Politisasi Masjid

Peran dan fungsi masjid adalah sarana membina hubungan vertikal dan horizontal.

Rep: Ali Mansyur/ Red: Agus Yulianto
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis
Foto: ROL/Fakhtar K Lubis
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harmoni agama dan kebangsaan menjadi sesuatu yang niscaya. Agama membutuhkan kekuasaan untuk menciptakan keteraturan. Demikian juga negara membutuhkan agama agar negara mempunyai nilai peradaban dan kemanusiaan.

 

Demikian dikatakan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat, Cholil Nafis dalam acara sosialisasi peta dan pedoman dakwah di Balikpapan. Cholil mengupas tentang hubungan agama dan negara, bahwa jangkar penyokong NKRI itu Kaum religius dan kau nasionalis.

 

Menurut Cholil, jika hubungan keduanya itu retak, maka tak mustahil sebelum tahun 2030 Indonesia benar-benar bubar. "Namun, jika hububgan antara kaum nasionalis bersinergi dengan kaum religius, maka sangat mungkin pada tahun 2045, satu abad kemerdekaan Indonesia akan mancapai masa keemasan," ungkap Cholil, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (24/4).

 

Cholil Nafis menyitir apa yang diungkapkan oleh Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al Ghazali, bahwa agama dan kekuasaan itu bagai saudara kembar. Agama adalah pondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. "Sesuatu yang tanpa pondasi dan dasar, maka ia akan roboh, demikian juga sesuatu yang tak ada penjaga akan mudah hilang digondol maling," katanya.

 

Dikatakan Cholil, agama dan kekuasaan menjadi saudara kembar. Dia pun mencontohkan pengalamannya punya anak kembar.  Kata dia, jika keduanya selalu kumpul, maka akan sering bertengkar dan ada yang terhegemoni. 

 

Begitu juga hubungan ulama dan umara harus sinergi pada posisinya masing-masing. Maka, pemerintah berwajib menciptakan keteraturan. Sedangkan ulama untuk memberi 'nilai langit' dalam pementintahan.

 

"Namun juga antara ulama dan umarah jangan saling berjauhan karena sama merindukan untuk kebaikan keduanya," tambahnya.

 

Dosen Pascsarjana Universitas Indonesia itu pun mengurai tentang wacana politisasi Masjid. Menurutnya, masjid itu rumah Allah yang harus sering dikunjungi oleh umat Muslim. "Sesuai fungsinya, masjid selain sebagai rumah ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga sebagai sarana interaksi dan membangun solidaritas sosial," kata Cholil.

 

Cholil mengatakan, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, peran dan fungsi masjid adalah sarana membina hubungan vertikal dan khorizontal. Demikian pada zaman khulafaurrasyidin. Bahkan masa kerajaan Islam di Indonesia, bangunan masjid sengaja dibuat bagian dalam dan serambi. Bagian dalam berfungsi sebagai sarana ibadah. Sedangkan serambinya untuk musyawarah warga dengan berbagai topiknya, termasuk masalah politik.

 

"Apa arti politisasi masjid? Mungkin yang dimaksud adalah menjadikan masjid untuk sarana kampanye dukung mendukung calon atau bahkan untuk mencaci maki calon lain. Tentu kalau artinya itu, sangat setuju dilarang," ucap Cholil.

 

Oleh karena itu, Cholil meminta agar kegiatan masjid jangan dibungkam. Kemudian juga jangan didistorsi oleh kepentingan politik jangka pendek agar bangsa ini sejalan antara ruh agama dan spirit kenegaraan. 

 

Maka, biarkan masjid berperan menyuarakan kebenaran. Sedangkan penguasa adalah penjamin keteraturan dan stabilitas sosial.

 

"Jangan dibenturkan kedua suara kembar itu, yaitu agama dan kekuasaan sehingga menjadi konflik. Kalau agama dibenturkan kekuasaan politik, maka khawatir kebersamaan dalam bingkai NKRI, menjadi bubar," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement