Senin 26 Mar 2018 19:03 WIB

Dosen Hayati Diminta Istikharah, Bagaimana Hasilnya?

Dalam kode etik dan aturan kampus tak disebutkan sama sekali larangan bercadar.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Foto: Humas UNP
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

REPUBLIKA.CO.ID, BUKITTINGGI -- Sejak pertama kali memutuskan untuk mengenakan cadar, Hayati Syafri yang masih berstatus sebagai staf pengajar di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, sudah diwanti-wanti pihak kampus untuk menimbang-nimbang lagi keputusannya. Pimpinan kampus menilai bahwa penggunaan cadar akan mengurangi efektivitas belajar mengajar. Peringatan demi peringatan diberikan kepada Hayati, hingga rapat Dewan Kehormatan Dosen IAIN Bukittinggi memintanya untuk libur mengajar semester ini.

Tapi Hayati tetap bertahan dengan keputusannya. Rektorat IAIN Bukittinggi menyatakan, hingga saat ini, Hayati masih dalam proses istiqarah untuk meminta petunjuk dari Allah SWT. Kampus mengklaim, Hayati belum juga memberi tahu mengenai ketetapan hatinya dalam mengenakan cadar. Lantas apa yang sebetulnya terjadi? Hayati ikut bersuara atas pernyataan kampus tersebut.

Hayati menjelaskan, jawaban hasil istiqarah sebenarnya sudah diberikan dalam bentuk tertulis pada 22 Desember 2017 lalu. Ketetapannya saat itu, dia komitmen mengenakan cadar. Bahkan, lanjutnya, bersamaan dengan jawaban tertulisnya dia sertakan juga alasan-alasan mengapa cadar seharusnya diizinkan di dalam kampus.

"Walau sudah memaparkan alasan pimpinan masih tetap tidak mengizinkan. Makanya saya selalu memohon ke Allah keteguhan hati," ujar Hayati, Senin (26/3).

Hayati menyebutkan, pernyataan terakhir yang ia berikan kepada pihak kampus, bahwa dirinya belum ada kekuatan hati untuk membuka cadar dan akan lanjutkan istiqarah. Tapi maksud dia dalam beristiqarah adalah meminta ketetapan hati untuk mengenakan cadar.

"Jadi hayat akan tetap melakukan istisarah, meminta pendapat para ahli alim ulama. Dan istiqarah, memohon keteguhan hati pada Allah. Karena pimpinan yang melarang, di mata saya juga ahli agama kan?" kata Ummi Hayat, panggilan akrab Hayati di kalangan mahasiswanya.

Hayati juga mempertanyakan mengenai 'sanksi' yang ia terima saat ini yakni tidak diberikannya jam mengajar sejak awal semester genap tahun akademik 2017/2018. Bila pimpinan menganggap Hayati masih beristiqarah, lantas mengapa ia tetap diminta libur mengajar?

"Kenapa harus dinonaktifkan tanpa surat. Saat dilihat suratnya ternyata halnya adalah pelanggaran disiplin berpakaian," jelas dia.

Hayati menegaskan, dalam kode etik dan aturan kampus tidak disebutkan sama sekali terkait larangan bercadar. Pembatasan penggunaan cadar di lingkungan akademik hanya muncul dalam surat edaran kampus tertanggal 20 Februari 2018.

Sebelumnya, Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, menyebutkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan komunikasi dengan Hayati. Namun, pihak Hayati selalu menyatakan bahwa dirinya sedang ber-istiqarah. "Hingga sekarang kalau ditanya selalu menjawab sedang istiqarah," kata Syahrul.

Polemik tentang cadar masih bergulir sampai hari ini. Belum ada kata sepakat antara pihak IAIN Bukittinggi dengan pihak-pihak yang mendesak kampus mencabut kebijakan soal pembatasan cadar di lingkungan akademik. Pekan ini, direncanakan akan ada dialog kedua antara kampus dan perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Islam untuk membahas tentang kebijakan cadar ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement