Rabu 14 Mar 2018 17:30 WIB

Gubernur Belum Sikapi Imbauan IAIN Bukittinggi Soal Cadar

Gubernur akan berkoordinasi terlebih dulu dengan pihak kampus terkait kebijakan ini.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.
Foto: Istimewa
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno (IP) belum mau memberikan respons atas kebijakan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang mengimbau dosen dan mahasiswinya agar tak bercadar. Irwan memilih untuk berkoordinasi terlebih dulu dengan pihak kampus terkait latar belakang kebijakan ini.

"Saya belum bisa komentar. Nanti ya, dipelajari dulu," ujarnya di Istana Gubernur Sumbar, Rabu (14/3).

Polemik cadar di IAIN Bukittinggi terus bergulir. Apalagi, setelah ada penonaktifan terhadap salah satu dosen perempuan di sana yang mengenakan cadar. Dr. Hayati Syafri tidak diberikan jam mengajar sejak semester genap tahun ajaran 2017/2018 ini.

Baca Juga: Dosen IAIN Bukittinggi Ini Akhirnya Lapor Ombudsman

Siang tadi suami dari Hayati, yakni Zulferi, mendatangi Ombudsman Perwakilan Sumatra Barat untuk menyampaikan laporan terkait kebijakan tentang cadar yang dijalankan IAIN Bukittinggi. Asisten Ombudsman Sumbar, Yunesa Rahman, menyebutkan, pelapor menyayangkan sikap kampus yang tidak memberikan kesempatan mengajar bagi Hayati selama semester ini.

 

Bahkan, lanjut Yunesa, sanksi yang diterima Hayati hanya disampaikan secara lisan. "Suratnya hanya diperlihatkan dan tidak diberikan salinan dan tidak boleh difoto, dan berlaku surut sejak Februari lalu," katanya.

Hayati sendiri sebenarnya baru mengenakan cadar selama tiga bulan belakangan. Pihak IAIN Bukittinggi sempat memberikan surat teguran kepada Hayati pada Desember 2017 lalu yang isinya meminta Hayati mematuhi kode etik berpakaian bagi dosen, alias kembali ke gaya berbusana sebelumnya.

"Yang dipermasalahkan, beliau tidak diberikan jam mengajar karena menggunakan cadar, hanya dengan surat dekan," katanya.

Suami Hayati, Zulferi, mendatangi Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat dengan membawa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Hayati, lampiran kronologi laporan, Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan salinan surat teguran yang disampaikan dekan.

Ombudsman RI, lanjut Yunesa, menerima laporan yang disampaikan Zulferi dan akan mempelajarinya. Yunesa juga mengaku, pihaknya menyoroti kebijakan kampus yang mengaitkan antara aturan berpakaian dengan kesempatan untuk mendapat pelayanan akademik.

"Karena dalam surat edaran dekan, disebutkan bahwa yang tidak mematuhinya tidak akan diberikan layanan akademik. Kami cari apa kaitannya," katanya.

Ombudsman RI, ujar Yunesa, merasa bahwa keluhan yang disampaikan Hayati perlu ditanggapi lantaran efeknya tak hanya dirasakan Hayati saja, namun juga mahasiswi di IAIN Bukittinggi yang mengenakan cadar. Menurutnya, Ombudsman RI perlu menelusuri apa kaitan antara aturan berpakaian dengan hak mahasiswi dan dosen untuk mendapat layanan akademik.

"Hubungan antara kode etik berpakaian dengan tidak diberikannya layanan akademik. Kalau itu kewenangan kami, apakah kami akan klarifikasi atau apakah kami investigasi ke Bukittinggi. Ada berbagai macam tindakan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement