Selasa 13 Mar 2018 21:24 WIB

IAIN Bukittinggi Imbau Dosen dan Mahasiswi tak Bercadar

Kampus melakukan langkah persuasif meminta mahasiswi untuk melepas cadarnya.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.
Foto: Istimewa
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.

REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi di Sumatra Barat mengimbau dosen dan mahasiswinya untuk tidak mengenakan cadar di lingkungan akademik. Imbauan ini dituangkan dalam Surat Edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi.

Dalam surat tersebut, pihak kampus meminta mahasiswa dan mahasiswi untuk mengenakan pakaian sesuai kode etik yang dijalankan IAIN Bukittinggi. Di poin pertama, surat edaran meminta seluruh civitas akademika bersikap sopan santun.

Poin kedua, menjelaskan aturan berpakaian bagi mahasiswi yakni memakai pakaian longgar, jilbab tidak tipis dan tidak pendek, tidak bercadar atau masker atau penutup wajah, dan memakai sepatu dan kaos kaki.

Sementara di poin ketiga diperuntukkan bagi mahasiswa, yakni memakai celana panjang bukan tipe celana pensil, baju lengan panjang atau pendek bukan kaos, rambut tidak gondrong, dan memaki sepatu serta kaos kaki. "Bagi yang tidak mematuhi tidak diberikan layanan akademik," tulis surat edaran tersebut.

 

Aturan serupa sebetulnya juga diterapkan kepada pihak dosen. Bahkan ada satu orang dosen perempuan yang terpaksa 'dinonaktifkan' oleh pihak kampus lantaran tetap bersikukuh mengenakan cadar.

Meski begitu, pihak kampus menampik bahwa kebijakan ini merupakan bentuk larangan bagi mahasiswi dan dosen untuk mengenakan cadar. Alih-alih menggunakan kata 'larangan', pihak kampus menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan imbauan untuk kondusivitas proses belajar-mengajar.

Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, menjelaskan hingga saat ini pihak kampus tidak menerbitkan aturan yang melarang penggunaan cadar. Bagi pihak kampus, ujar Syahrul, aturan yang dijalankan merupakan upaya persuasif bagi dosen dan mahasisiwi untuk menjalankan kode etik.

"Bukan melarang, tapi mengimbau. Untuk ketentuan pedagogi kita. Kan nggak seluruhnya mahasiswa ingin diajar oleh yang bercadar. Yang kami minta pakaian Muslim dan yang biasa. Tapi kalau keluar ajaran Islam, pakaian ndak sopan ya jangan," ujar Syahrul, Selasa (13/3).

Terkait dengan kasus penonaktifan salah satu dosen, Syahrul juga membantahnya. Menurutnya, dosen atas nama Hayati Syafri bukan dinonaktifkan melainkan diberi kesempatan untuk membuka cadarnya.

Syahrul mengungkapkan, permintaan pihak kampus kepada Hayati untuk membuka cadarnya bermula dari keluhan beberapa anak didik yang merasa tidak nyaman diajar oleh dosen yang bercadar. "Ada beberapa anak didik yang membuat surat bahwa perlu untuk tertibkan saja. Nggak efektif dari segi pedagogi. Kan nggak nampak sebagai guru," kata Syahrul.

Syahrul menambahkan, pihak kampus tidak ingin secara gegabah memberhentikan dosen atau mahasiswi yang bercadar dari kegiatan belajar mengajar di IAIN Bukittinggi. Catatan kampus, hingga tahun 2017 terdapat tiga mahasiswi yang mengenakan cadar.

Namun sampai saat ini, lanjutnya, pihaknya terus melakukan langkah persuasif agar ketiganya melepas cadarnya. "Secara persuasif akan kami coba ke mereka untuk taati aturan," katanya.

Sementara itu Hayati Syafri, sosok dosen yang dinonaktifkan oleh kampus, mengaku kecewa dengan kebijakan yang dijalankan institusi tempatnya mengajar. Ia mengaku, sejak pertama kali mengenakan cadar pada 2017 lalu, pihak IAIN Bukittinggi sudah melakukan banyak cara untuk memintanya kembali ke gaya berbusana semula.

"Sudah banyak cara dilakukan, misal lewat teman dekat saya diminta bujuk saya. Lalu dipanggil dan diminta buka cadar. Lewat surat teguran, dan terakhir dipanggil di sidang kehormatan dosen dan terakhir diminta nonaktif," katanya.

Hayati mengaku, penonaktifan yang dilakukan terhadapnya dilakukan secara lisan oleh dekan. Bahkan menurutnya, mahasiswa bimbingan akademik yang ia tangani tidak bisa mengurus Kartu Rencana Studi (KRS) melalui situs resmi kampus. KRS justru baru bisa disetujui oleh dosen lain, bukan Hayati sebagai dosen pembimbing resmi.

"Iya karena bercadar dianggap mengganggu proses belajar mengajar. Lalu dibuat surat dan ditulis bahwa saya melanggar disiplin berpakaian dosen," katanya.

Hingga saat ini pihak IAIN Bukittinggi tetap tegas menjalankan imbauan bagi dosen dan mahasiswinya agar tidak bercadar. Menurut pengakuan Hayati, seluruh mahasiswi yang sebelumnya mengenakan cadar, saat ini masih berupaya menjalankan kepercayaan mereka dengan mengenakan masker penutup mulut dan hidung. N Sapto Andika Candra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement