Ahad 10 Dec 2017 13:32 WIB
Gagasan NTB Tekan Perkawinan Anak Tuai Apresiasi

Praktik Perkawinan Anak Situasi Darurat, Penyebabnya?

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Setop Perkawinan Anak. Saat ini menjadi negara tertinggi ke-7 di dunia dalam perkawinan anak (Ilustrasi)
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Setop Perkawinan Anak. Saat ini menjadi negara tertinggi ke-7 di dunia dalam perkawinan anak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari mengatakan, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu provinsi dengan angka perkawinan anak yang cukup tinggi. Hal ini menjadi dasar pemilihan NTB sebagai satu dari lima provinsi selain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan yang mendeklarasikan gerakan bersama setop perkawinan anak.

"NTB merupakan salah satu provinsi yang memiliki ide atau gagasan membuat kebijakan pemberhentian perkawinan anak, termasuk di desa-desanya juga memiliki peraturan perkawinan anak," ujar Dian dalam deklarasi gerakan setop perkawinan anak di Taman Budaya NTB, Ahad (10/12).

Dian mengapresiasi Pemprov NTB yang telah melahirkan berbagai kebijakan seperti edaran tentang pendewasaan usia perkawinan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur NTB Nomor 180/1153/Kum Tahun 2014 bahwa usia perkawinan ideal bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun.

Dian mengajak seluruh pelajar di NTB yang terlibat dalam gerakan bersama setop perkawinan anak menjadi juru bicara dalam informasi dan edukasi tentang pentingnya tidak menikah pada usia dini. "Gerakan ini diharap membawa perubahan besar, adik-adik yang hadir bisa menjadi juru kampanye untuk stop perkawinan anak," lanjut Dian.

Sekwil Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) NTB Selly Ester Sembiring mengatakan, kehadiran gerakan ini diharapkan mendorong semua pihak menciptakan lingkungan yang ramah anak dan menciptakan kesadaran bersama stop perkawinan anak.

Selly menilai, tingginya jumlah perkawinan anak atau perkawinan di bawah usia 18 tahun turut menjadi penyebab tingginya tingkat perceraian. Mengutip data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi NTB, sebanyak 21,55 persen warga NTB berstatus janda dan duda.

"Praktik perkawinan anak sudah mencapai situasi darurat di Indonesia, khususnya NTB. Pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis mengatasinya, di antaranya dengan mengeluarkan Perpu dan Perda pencegahan pernikahan anak serta menghapus dispensasi perkawinan," ucap Selly.

Selain itu, lanjut Selly, gerakan ini membutuhkan kerjasama dan komitmen dari para pihak terkait dalam mencegah dan mengurangi perkawinan anak serta membangun kesadaran masyarakat atas dampak buruk perkawinan anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement