Selasa 21 Nov 2017 20:30 WIB

Pesantren Benteng Negara dari Bahaya Radikalisme

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.
Foto: EPA/Fully Handoyo
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Kementerian Agama (Kemenag) menggelar Konferensi International Studi Pesantren atau International Conference on Pesantren Studies di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (21/11). Dalam seminar Internasional ini menghadirkan beberapa pembicara dari luar negeri.

Umat Islam Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam hal pemahaman keagamaan. Munculnya pemikiran-pemikiran ekstrem yang gencar disebarkan kelompok keagamaan tertentu ditengarai menjadi penyebab maraknya radikalisme di kalangan masyrakat.

 

Berdarkan hal itu, pembicara dari Jamiyyah Al-Masyari Libanon, Fahdi Alamuddin mengatakan bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan Islam dan sebagai benteng negara harus hadir sebagai solusi persoalan ini. Salah satunya yaitu dengan cara mengajarkan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) kepada peserta didiknya.

 

Namun, menurutnya, beberapa lembaga pendidikan pesantren saat ini juatru tidak mengajarkan ajaran Aswaja yang dikenal moderat dan toleran, dan malah megadopsi ajaran-ajaran kelompok tertentu yang terindikasi ekstrem. Kita menghadapi kelompok-kelompok seperti Wahabi yang gencar mempropagandakan pemikiran ekstrem, yang gemar sekali membidah-bidahkan amalan seperti Maulid Nabi, dan lain-lain. Pesantren harus mewaspadai pemikiran kelompok-kelompok seperti ini, ujarnya dalam paparannya.

 

Menurut Fahdi, pesantren harus membekali peserta didiknya secara khusus untuk membendung pemikiran-pemikiran ekstrem tersebut. Pasalnya, jika tidak punya bekal di masyarakat, justru santri itu yang akan terpengaruh dengan paham ekstrem itu. Sebagai contoh, pesantren bisa mengirimkan santri-santrinya ke kampung-kampung untuk menghadapi klaim-klaim bidah yang dialamatkan kepada praktik-praktik keagamaan masyarakat.

 

Misalnya dalam hal Maulid Nabi. Maulid Nabi itu jelas sesuai syariat, karena di dalamnya terdapat pujian bagi Nabi. Dalam hal ini, bahkan Allah pun memuji Nabi dalam al-Quran, ucapnya.

 

Hal senada juga diungkapkan pembicara dari Global University, Libanon, Syekh Saad Al Ajuz. Menurutnya, pesantren di Indonesia merepresetasikan Islam Indonesia yang khas, yaitu Islam yang penuh toleransi, moderat, dan anti-ekstremisme. Menurut dia, kondisi itu sudah berlangsung sejak pertamakali ormas-ormas Islam muncul.

 

Sekarang saya tanya, mengapa NU muncul saat itu? Jawabannya, NU didirikan oleh Syekh Hasyim Ayari sebagai respons terhadap pemikiran-pemikiran ekstrem yang saat itu mulai merebak di kalangan umat Islam, katanya kepada peserta seminar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement