Senin 16 Oct 2017 19:41 WIB

MUI: Berdosa Bagi Pemimpin tidak Penuhi Janji Kampanye

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan, berdosa bagi pemimpin yang tidak menepati janjinya saat kampanye. Hal tersebut sesuai dengan kesepakatan ulama MUI dalam acaraijtimaKomisi Fatwa MUI ke-5 di Tegal tahun 2015, fatwa ini berlaku bagi pemimpin dan calon pemimpin publik, baik itu di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid menjelaskan, seorang pemimpin berkewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye dia berjanji untuk melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariah agama dan mengandung unsur kemaslahatan. Sebaliknya, jika mengingkari janji tersebut hukumnya haram atau berdosa.

"Maka dari itu, MUI meminta kepada para calon pemimpin agar tidak mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangan dan kemampuannya," ujar Zainut Tauhid kepada Republika.co.id, Senin (16/10).

Menurutnya, MUI sepakat bahwa calon pemimpin dilarang berjanji yang menyalahi ketentuan agama. Apabila dia menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariah, maka calon pemimpin tersebut haram dipilih. Kemudian apabila terpilih, maka janji tersebut sah untuk tidak ditunaikan.

 

Terhadap pemimpin yang ingkar janji, kata Zainut, MUI mengimbau umat untuk tidak memilihnya kembali jika yang bersangkutan kembali mencalonkan diri pada pemilihan umum periode selanjutnya. Zainut menjelaskan, beberapa dasar MUI menetapkan hukum bagi pemimpin yang ingkar janji di antaranya sebagai berikut. Pertama, sumber hukum Islam menyuruh agar setiap muslim menepati janji dan melarang mengingkarinya. Kedua, setiap janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketiga, pemimpin harus menunaikan janjinya saat kampanye demi kemaslahatan umat.

Fatwa ulama itu juga mendorong agar para pemimpin yang muncul ke hadapan publik adalah mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut. "Karena itu, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangan dan kemampuannya dalam mencapai tujuannya," ujarnya.

Ia mengatakan, MUI berpandangan bahwa jabatan adalah amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Meminta atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela terlebih bagi orang yang tidak memiliki kemampuan yang memadai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement