Kamis 21 Sep 2017 22:31 WIB

Kebencian Menjelma Menjadi Cinta dan Pengabdian

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saya termasuk penentang dan lawannya," begitulah pernyataan tegas dan sikap yang pertama kali ditunjukkan oleh seorang sufi terkemuka di abad ketujuh Hijriyah, Ibnu Athaillah as-Sakandari (709 H), terhadap figur sufi tersohor pada masanya, yaitu Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi. 

Awalnya, tokoh sufi kelahiran Alexandria, Mesir, 648 H, ini tidak menyangka jika orang yang dibencinya itu kelak justru menjadi guru paling agung dan ia elu-elukan. Kisah terjalinnya hubungan guru dan murid itu berawal tatkala perdebatan sengit berlangsung antara Ibnu Athaillah dan berapa teman al-Mursi. Ibnu Athaillah pun terdorong untuk mengetahui dan berkenalan langsung dengan tokoh tersebut. Ia berkeyakinan, orang-orang yang dekat dengan kebenaran bisa ditangkap oleh indra dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Ketika ia bertandang ke tempat al-Mursi, ia mendapatinya sedang menjelaskan kepada para muridnya tentang derajat para salik yang secara umum terbagi atas tiga bagian, yaitu islam (berserah diri), iman (percaya), dan ihsan (berbuat baik). 

Singkat kata, uraian al-Mursi membuat decak kagum Ibnu Athaillah. Ia pun memutuskan bersilaturahim dan bertatap muka. Tak disangka, al-Mursi menyambutnya dengan penuh kehangatan, sikap yang kontan meluluhlantakkan prasangka dan sikapnya selama ini. 

Sejak itulah ia memutuskan berguru dan mengabdi kepada sang maestro. Dedikasinya itu tergambar jelas dalam sebuah kitab yang ia tulis dan bertajuk Lathaif al-Mannan. 

Penulis kitab Al-Hikam itu mengisahkan latar belakang dan tujuan penulisan Lathaif. Kitab yang ia tulis itu secara khusus untuk mengungkapkan asal-usul, keistimewaan, kedudukannya di kalangan para sufi, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sang guru yang menjadi rujukan kalangan ahli makrifat dan mursyid para salik, yaitu Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi. Kupasannya mencakup pendapat-pendapat tasawuf, ungkapan-ungkapan hikmah, dan berbagai hal penting yang berkenaan dengan aktivitas dan kesimpulan al-Mursi terhadap tasawuf.

Menurut Ibnu Athaillah, upayanya tersebut ditempuh untuk mendokumentasikan pandangan-pandangan al-Mursi di bidang tasawuf. Pasalnya, selama ini sang guru belum pernah mengabadikan karyanya tersebut di sebuah buku. Beberapa peninggalannya ditulis oleh para muridnya. 

Ibnu Athaillah mengatakan, keputusan gurunya tidak menuliskan karyanya didasari fakta bahwa ilmu tasawuf berkaitan dengan olahrasa yang sulit diungkapkan dan dicerna kebanyakan khalayak. Pendokumentasian dikhawatirkan akan menimbulkan salah pemahaman.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement