Jumat 28 Jul 2017 19:31 WIB

Sertifikasi Masjid untuk Layanan Jamaah Lebih Baik

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agus Yulianto
Masjid Al-Ikhlash, Jatipadang, Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Masjid Al-Ikhlash, Jatipadang, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Kalau dari sisi tampilan bangunan, memang masih banyak yang lebih besar dan megah dari Masjid Al-Ikhlas Jatipadang, Pasar Minggu. Dengan segala potensi yang ada, Masjid Al-Ikhalas ingin sungguh-sungguh berkhidmat untuk melayani umat. Baru-baru ini, masjid di Jl. Ragunan itu meningkatkan dan memperbarui sertifikat ISO yang mereka miliki, Lembaga Sertifikasi Intenational Standard Certifications (ISC) menetapkan Masjid Al Ikhlash Jatipadang mendapatkan Sertifikat ISO versi terbaru ISO 9001:2015dari ISO 9001:2008.

Kabid Bina Program dan ISO Masjid Al Ikhlas Jatipadang Rahadi Mulyanto menjelaskan, sertifikat ISO 9001:2015 yang Masjis Al-Ikhlas peroleh kali ini hasil adalah peningkatan dari sertifikat ISO 9001:2008. Sertifikasi ISO jadi alternatif manajemen bagi pengelola Masjid Al-Ikhlas. Ini juga jadi bentuk kesepakatan untuk menjaga program di Masjid Al-Ikhlas dan upaya bersungguh-sungguh melayani jamaah.

"Sertifikat ISO 9001:2015 ini pelayanan mutu, intinya pada kepuasan jamaah," kata Rahadi kepada Republika.co.id, Jumat (28/7).

Parameter adalah dari keamanan, kenyamanan, dan ketertiban yang dirasakan jamaah. Sertifikasi ISO memfasilitasi itu sehingga capaian program yang pengurus miliki lebih terukur. Bila ada yang kurang, bisa terus diperbaiki.

 

Karena itu, kanal untuk menerima masukan dari jamaah merupakan keharusan. Jamaah bisa menyampaikan masukan melalui SMS, WA, dan telepon. Hal itu pun masuk dalam persyaratan sertifikasi ISO. Karena kalau itu tidak ada, jadi catatan dalam sertifikasi.

Bagi pengurus Masjid Al-Ikhlas, sertifikasi ISO 9001:2015 lebih menarik. Sebab ada salah satu syarat yang mengharuskan penyusunan program berdasarkan konteks masyarakat dimana organisasi itu berdiri. Dari situ pengurus Masjid Al-Ikhlas melihat program yang sesuai isu terhangat di masyarakat.

Hal itu, kata Rahadi, dirasakan betul oleh pengurus Masjid Al-Ikhlas. Sehingga program Masjid A dan Masjid B bisa jadi berbeda. Ia mencontohkan Masjid Jogokariyan yang sangat didukung soliditas masyarakatnya. Kalau hal macam itu dijiplak mentah di Jakarta, agak berat.

ISO 2015 mengarahkan program organisasi sesuai muatan lokal yang ada. Sehingga kegiatan yang berjalan sesuai kebutuhan jamaah. Tak pelak, pengurus Masjid Al-Ikhas memuat peta proses organisasi sehingga deskripai kerja, program, dan hal-hal lain bisa disusun. Hal macam ini bisa jadi menarik bila bisa dilakukan pula di masjid-masjid lainnya. ''Kami ingin masuk surga secara profesional. Jadi memang memikirkan semua,'' kata Rahadi.

Sertifikasi ISO 9001:2015 juga memaksa pengurus untuk solid. One Man Show yang diperankan manajer program dalam ISO 9001:2008 sudah tidak ada. Tiap pengurus dalam organisasi kini punya tanggungjawab sehingga tugas dan fungsi lebih terdistribusi dan kerja dilakukan bersama.

Soal respons jamaah, Rahadi menyatakan, Masjid Al-Ikhlas punya survei reguler per tiga bulan. Hasilnya, ada kenaikan kepuasaan jamaah. Survei kepuasaan jamaah sebelumnya 85 persen menjadi 90 persen menjelang Ramadhan. Infak masjid juga meningkat.

Pada unit usaha, pengembangan dilakukan pada program sebab arena Masjid Al-Ikhlas memang terbatas. Maka program pembangan ekonomi dimuat dengan model lain untuk terutama usaha mikro. Pengurus Masjid Al-Iklas membantu menciptakan pasar di komunitas jamaah. Potensi ini terlihat bila dibuat peta potensi masjid untuk program pemberdayaan umat sehingga manfaat yang dirasa jamaah tidak terbatas tempat.

Rahadi melihat, sertifikasi ISO 9001:2015 nampaknya bisa diadaptasi masjid lain karena lebih sederhana ketimbang ISO 9001:2008 yang lebih banyak syarat dokumen. Di awal dulu, Masjid Al-Ikhlas juga masih mencoba. Pengurus bahkan sempat berkeliling mencari masjid yang sekiranya bisa jadi acuan, tapi tidak ada.

''Syarat ISO 9001:2008 alhmadulillah bisa kami susun. ISO 9001:2015 itu lebih sederhana,'' kata Rahadi.

ISO 9001:2015 lebih pada soliditas pengurus. Misal pada shalat Jumat, di dalamnya ada instruksi kerja untuk semua petugas shalat Jumat. Kebersamaan jadi lebih ditonjolkan. Itu buat membuat pengurus jadi sering bertemu sehingga lebih kuat kerja sama dan silaturahimnya. Agar lebih mudah diadaptasi masjid lain, pengurus Masjid Al-Ikhlas sudah menyampaikan ke pihak ISC agar kalimat dan klausul dibuat dalam bahasa lebih sederhana.

Di ISO, Masjid Al-Ikhlas punya tiga komponen manajemen masjid yakni imaroh (program), riayah (aspek legal masjid), dan idarah (tata kelola administrasi dan keuangan). ISO sendiri ada pada Idarah. Sehingga bukan berarti masjid dengan sertifikat ISO punya program lebih banyak dari masjid lain.

Pengurus Masjid Al-Ikhlas sudah menyampaikan hal ini ke Dewan Masjid Indonesia. Mereka berharap DMI punya standar nasional bagi masjid-masjid di Indonesia.

Pasca Masjid Al-Ikhlas memperoleh sertifikat ISO, ada puluhan masjid yang bersilaturahim dan studi banding, meski Rahadi lebih senang menyebutnya belajar kelompok.

Ada kunjungan dari Malaysia. Di Malaysia, semua kebutuhan masjid didukung negara, sehingga kalau anggaran negara seret, masjid jadi kesulitan dana. Mereka hanya bisa mengelola infak Jumat dan infak tarawih sebab zakat disetorkan ke negara.

Hal menarik lainnya adalah syarat perbaikan (impovement). Pada produk layanan sosial, pengurus diminta mencari dampak program terhadap masy. Kalau kepuasaan jamaah tidak meningkat, harus pernaikan yang menuntut penambahan program atau perbaikan kualitas layanan.

Dia mencontohkan, program untuk mengatakasi anak-anak kecil yang ribut saat tarawih, Program Anak Shalih. Anak-anak yang shalat dan tarawih di Masjid Al-Ikhlas harus mengisi daftar hadir dan tertib. Mereka yang kehadirannya terbanyak mendapatkan sepeda dari pengurus.

"Ini unik dan rencananya mau kami kembangkan. Hal semcam ini yang menjadi tuntutan perbaikan untuk meningkatkan kualitas layanan," kata Rahadi.

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia Imam Addaruquthni mengapresiasi masjid yang berusaha memperbaiki layanan kepada jamaah dengan melakukan sertifikasi. Hal ini akan mengarahkan manajemen masjid jadi profesional dan masjid memiliki standar layanan sebagai fasilitas umum.

Hanya saja, ini masih rintisan. Perlu ada standar baku masjid laik sertifikasi ISO. "Standar itu belum ada sampai saat ini," kata Imam.

Maka perlu ada standar masjib yang baik termasuk manajemen masjid dan hal-hal terkait jamaah. Standardisasi ini bisa dari ISO atau DMI atau konsorsium. "Standar masjid yang baik akhirnya perlu diberikan," ungkap Imam.

Permintaan standardisasi masjid ke DMI mamang ada. Tapi pelaksanaannya belum berjalan. Sebab membuat standardisasi tidaklah mudah.

Ia mencontohkan sistem pengeras suara maskjid yang masih beda-beda. Menurutnya, harus dicek juga standar audio yang baik pada ISO perlu juga dilihat. "Banyak aspek dalam pengeloaan masjid. Masjid yang ada ISO itu sendiri sudah baik," kata Imam

Rencananya, standar layanan minimum masjid bisa masuk dalam bahasan Muktamar DMI pada November 2017 ini. Dengan sudah adanya masjid yang sertifikasi, Imam mengartikan memang ada perlunya standardisasi layanan masjid. Karena keberdaann masjid berjalan bersama keberadaan masyarakatnya.

Masjid di Indonesia sendiri DMI prediksi sebanyak 600 ribu masjid. Sejauh ini, masjid yang punya ISO baru Masjid Al-Ikhlas Jakarta dan Masjid Al Akbar Surabaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement