Selasa 18 Jul 2017 18:33 WIB

Kejahatan Islamofobia Meningkat 91 Persen pada Era Trump

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Agus Yulianto
Presiden AS Donald Trump.
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Presiden AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah kelompok advokasi Muslim dan hak asasi manusia Council on American-Islamic Relations (CAIR) mengumumkan hasil penemuan terbaru mereka mengenai kasus Islamofobia di Amerika Serikat setelah terpilihnya Presiden Donald Trump. CAIR menemukan, bahwa kejahatan karena penyalahgunaan Islamofobia di AS meningkat sampai 91 persen pada paruh pertama tahun 2017, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Dalam penemuan yang diterbitkan pada Senin (17/7) waktu setempat, seperti dilaporkan Aljazirah pada Selasa (18/7), bahwa kejahatan kebencian tersebut telah meningkat sejak 2016. Ini merupakan tahun terburuk dalam catatan insiden anti-Muslim sejak kelompok tersebut memulai sistem pendokumentasiannya pada tahun 2013.

Jumlah insiden pada semester pertama tahun 2017 juga meningkat sebesar 24 persen, dibandingkan dengan enam bulan pertama tahun 2016, kata CAIR. "Kampanye pemilihan presiden dan pemerintahan Trump telah memanfaatkan lapisan kefanatikan dan kebencian, yang telah menjadikan sasaran kelompok Muslim Amerika dan kelompok minoritas lainnya," kata Zainab Arain, seorang koordinator CAIR yang bertugas memantau dan memerangi Islamofobia.

CAIR juga merinci lima jenis pelanggaran kejahatan akibat Islamofobia tersebut. Di antaranya adalah pelecehan terhadap Muslim sebanyak 16 persen, kejahatan kebencian sebanyak 15 persen, penargetan FBI terhadap Muslim sebanyak 12 persen, intimidasi yang diterima umat Muslim sebanyak 12 persen dan kasus perlindungan Bea dan Cukai sebanyak delapan persen. Kelompok advokasi tersebut menyimpulkan, jika tindakan yang mempengaruhi komunitas Muslim Amerika berlanjut seperti sebelumnya, 2017 bisa menjadi salah satu tahun terburuk yang pernah terjadi untuk insiden semacam itu.

Tidak hanya itu, CAIR juga menyimpulkan bahwa 20 persen insiden terjadi karena alasan bahwa mereka seorang Muslim. Sedangkan 15 persen insiden menimpa Muslimah berjilbab, yang merupakan simbol paling kentara bagi umat Muslim.

Bentuk paling umum dari Islamofobia dari bulan April sampai Juni tahun ini melibatkan pelecehan, yang didefinisikan oleh CAIR sebagai insiden tanpa kekerasan atau tidak mengancam. Yang kedua adalah kejahatan kebencian, yang melibatkan kekerasan fisik atau kerusakan properti.

Dalam 347 kasus di mana gender korban diidentifikasi, laki-laki menyumbang jumlah sebanyak 57 persen, dan perempuan sebanyak 43 persen. Korban kemungkinan besar ditargetkan di rumah mereka, selanjutnya terbanyak kedua diikuti oleh jalan raya, jalan, dan jalan gang. Di tempat ketiga adalah bandar udara, stasiun kereta api atau terminal bus.

CAIR mengatakan, pemicu insiden anti-Muslim yang paling umum di tahun 2017 tetap karena etnis korban atau asal negara, yang menyumbang 32 persen dari total keseluruhan kasus. Kelompok tersebut mendasarkan laporannya pada data yang dikumpulkan dari kasus yang dilaporkan dan disaksikan.

Namun, mereka mengakui, bahwa pengakuan di bawah pelaporan merupakan sebuah tantangan tersendiri, dengan banyak korban tidak memberi tahu petugas penegak hukum atau institusi masyarakat. Menurut laporan CAIR tahun 2016, insiden kebencian anti-Muslim meningkat lebih dari 40 persen dibandingkan dengan tahun 2015.

Kontribusi terbesar Trump adalah bagaimana ia meluncurkan rasisme dan kefanatikan AS dan penguburan tepat waktu sebuah mitos 'Pos-Rasial Amerika.' Jika pemilihan Barack Obama, yang merupakan seorang pria kulit hitam, menandakan kemunduran rasisme Amerika terhadap beberapa orang, maka kenaikan politik Trump yang cepat dan resonansi pesan kebenciannya melambangkan bahwa rasisme di AS hidup, kuat, dan intensif.

Trump sama sekali bukan politisi modern pertama yang memanfaatkan Islamofobia. Dia mengikuti, daftar pejabat terpilih, terutama George W Bush, dan calon presiden yang telah ia jadikan sebagai platform dan strategi politik.

Menampar Islam adalah strategi politik Trump yang dianggap jitu. Sebuah taktik terpercaya yang membuat kampanyenya memimpin, dan memobilisasi basis pendukungnya untuk berbondong-bondong memilihnya.

Menurut laporan dari Aljazirah tahun lalu, sebanyak 60 persen pemilih Partai Republik mendukung larangan Muslim Trump, jumlah ini diperkirakan lebih tinggi untuk pendukung Trump. Sedangkan 75 persen pemilih Carolina Selatan, di mana Trump menang dengan mudah, mendukung larangan tersebut. Dukungan untuk pelarangan itu bahkan lebih tinggi di Alabama dan Arkansas yaitu sebesar 78 persen, di mana Trump masing-masing menang 22 persen dan tiga persen.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement