Kamis 22 Jun 2017 14:15 WIB

Menuju Surga Allah

Surga (ilustrasi)
Foto: blogspot.com
Surga (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah menjadi keharusan bagi Rasulullah SAW untuk berkhotbah sebelum menerjunkan tentara kaum muslimin ke medan perang. Khotbah dari Rasulullah SAW membakar api jihad di dada setiap tentara Muslim. Motivasi Rasulullah SAW menjadikan mereka lebih cinta pada akhirat dan rindu mendapatkan syahid.

Ketika akan memasuki kancah perperangan Perang Badar, Rasulullah dalam khuotbahnya membacakan surah al-Anfal Ayat 65. “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan, jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”

 

Ayat ini untuk memberikan motivasi bagi kaum Muslimin bahwa mereka bisa mengalahkan musuh yang jumlahnya dua kali lipat dari mereka. Ketika pasukan musyrikin sudah mendekat, Rasulullah SAW berseru, “Berdirilah kalian (untuk menyambut perang) menuju surga yang luasnya antara langit dan bumi.”

Salah seorang sahabat, Umair bin al-Hammam, pun ikut berdiri. Ia bertanya-tanya, “Benarkah luasnya surga itu antara langit dan bumi?”

Rasulullah menjawab, “Iya.”

Umair terkagum-kagum dengan ganjaran pahala yang dijanjikan. “Mudah-mudahan saya menjadi penguninya,” ujar Umair. Rasulullah pun menjawab, “Kamu termasuk penghuninya.”

Tak terperikan lagi kegembiraan di hati Umair. Ia yang baru saja menyantap beberapa butir kurma, langsung dibuangnya. Menurutnya, terlalu lama untuk menghabiskan beberapa kurma yang masih tersisa itu. Sejurus kemudian, ia pecahkan sarung pedangnya. Ia maju menyongsong pasukan musyrikin dengan gagah berani. Kemudian, ia pun mendapatkan syahid. Demikian, seperti dikisahkan Syekh Abdurrahman al-Mubarakfury dalam Rahiqul Makhtum (Sirah Nabawiyah).

Seorang yang benar-benar yakin dengan kenikmatan surga di akhirat, tentu tidak ingin menunggu lama. Ibaratnya, seorang yang dijanjikan mendapat kiriman hadiah berupa satu unit mobil. Ia begitu kegirangan. Setiap hari, ia terus menunggu kiriman mobil itu datang ke rumahnya. Bahkan, mungkin saja ia sudah menyiapkan garasi untuk mobil barunya.

Bagaimana pulalah kiranya kegembiraan seseorang yang dijanjikan surga yang kenikmatnya seluas langit dan bumi? Tentu kegirangan luar biasa bagi mereka yang memang meyakini akan adanya kenikmatan di akhirat. Seperti yang dirasakan Umair dalam kisah tadi.

Pertanyaannya, seberapa yakinkah kita dengan kenikmatan akhirat sehingga kita masih jua bermalas-malasan untuk beribadah. Bukankah ganjaran melakukan shalat sunah sebelum subuh saja lebih baik dari dunia dan seisinya? Lantas, mengapa masih banyak orang yang enggan melakukannya? Bukankah berinfak dengan sebutir kurma saja bisa menjadi tameng dari api neraka? Namun, mengapa masih banyak yang kikir mengeluarkan harta?

Pada kesimpulannya, seorang yang malas dengan amalan-amalan akhirat merupakan indikasi bahwa keyakinannya pada akhirat itu lemah. Ia tidak begitu yakin dengan ganjaran yang besar di akhirat sehingga ia merasa tidak perlu bersemangat untuk beramal.

Beda halnya ketika kisah seorang kepala daerah yang menjanjikan hadiah umrah, mobil, dan uang tunai bagi pegawai-pegawainya yang rutin shalat berjamaah. Para pegawai dari seluruh jajaran SKPD begitu bersemangat untuk shalat ke masjid. Minimal, ketika mereka rutin shalat ke masjid, mereka akan mendapatkan hadiah uang dari sang kepala daerah.

Ganjaran yang ditawarkan Allah SWT tentu lebih besar dari hadiah umrah, mobil, atau uang tunai tersebut. Bayangkan saja, fadhilah (keutamaan) shalat sunah sebelum subuh saja lebih baik dari seisi dunia ini. Shalat sunah saja sudah sedemikian besarnya apalagi shalat Subuhnya. Adakah yang mampu memberikan ganjaran yang lebih tinggi dari Allah SWT?

Lalu, mengapa tidak ada yang bersemangat dengan ganjaran yang ditawarkan Allah? Berarti ada keyakinan yang kurang pada akhirat. Kurang yakin dengan janji Allah, kurang yakin dengan akhirat, kurang yakin dengan qadha dan qadar. Pada kesimpulannya, rukun iman seseorang belumlah beres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement