Jumat 17 Mar 2017 05:49 WIB

Agama, Moralitas, dan Tantangan Keadilan Gender

Para buruh perempuan yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) membawa peralatan dapur pada aksi bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional di depan Gedung DPRD Jabar (Ilustrasi)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Para buruh perempuan yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) membawa peralatan dapur pada aksi bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional di depan Gedung DPRD Jabar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai, menguatnya arus fundamentalisme agama dan isu moralitas, menjadi tantangan utama untuk mewujudkan keadilan gender di Indonesia. Saat ini, ada kecenderungan dari agama, bukan hanya Islam, untuk mengembalikan budaya patriarki yang menghendaki perempuan melakukan peran-peran tradisional sebagai 'kanca wingking', pengasuh anak, dan penjaga moral keluarga.

Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe'i dalam sebuah talkshow memperingati Hari Perempuan Internasional di Jakarta bertajuk "Breaking Gender Barriers" mengatakan, bahwa sinyal-sinyal bangkitnya gerakan Islam fundamentalis dan radikal di Indonesia, serta di berbagai belahan dunia, menjadi sangat mengkhawatirkan terhadap gerakan pemenuhan hak-hak asasi perempuan.

"Isu agama dan moralitas yang dimunculkan oleh beberapa kelompok, antara lain yang melihat bahwa gerakan perempuan dapat menghancurkan hak istimewa yang selama ini dinikmati laki-laki, juga berdampak pada rivalitas antargerakan perempuan," kata dia, kemarin.

Terlebih, saat ini, upaya politisasi agama semakin kuat dilakukan oleh para politisi tidak bermoral yang menggunakan agama bukan untuk membangun kemanusiaan melainkan sebagai alat meraih simpati dan kekuasaan.

Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, Komnas Perempuan terus melakukan kajian terhadap peraturan-peraturan daerah diskriminatif yang dapat mengkriminalisasikan perempuan atas nama agama dan moralitas seperti undang-undang tentang pornografi, peraturan yang mengatur tubuh perempuan seperti keharusan mengenakan jilbab, serta larangan keluar rumah pada malam hari.

Meskipun pelibatan perempuan dalam ruang publik dan ruang domestik yang lebih terlindungi sebagai hasil perjuangan panjang gerakan feminis mulai mewujud di Tanah Air, namun berbagai tantangan seperti diungkapkan Imam nyatanya belum dapat diatasi.

Tokoh penggerak dan pemberdayaan perempuan Saparinah Sadli pernah menyatakan, pemenuhan hak perempuan untuk mencapai kesetaraan gender pada dasarnya mengubah nilai budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai superior dibandingkan perempuan sebagai manusia.

Karena itu, merumuskan kembali visi misi nilai-nilai dan strategi perjuangan, termasuk berkoordinasi dengan gerakan-gerakan perempuan dan gerakan sosial lain menjadi penting untuk segera dilakukan. "Membedah hambatan pemberdayaan perempuan adalah membedah budaya patriarki, membedah ketidakadilan dan diskriminasi, serta membedah diri kita sendiri," kata Imam mengutip pernyataan Saparinah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement