Sabtu 21 Jan 2017 07:59 WIB

Sarekat Islam, Kain Kafan Muhammadiyah: Tauhid Sukarno dan The Glory of Islam

Sukarno naik haji pada tahun 1955.
Foto:
Presiden Sukarno berbicara di depan rakyat pada 1946.

Sukarno memang mendapat pelajaran agama secara khusus, sehingga pemahamannya tentang ketuhanan lebih bersifat empiris. Diserapnya bersama dengan berbagai nilai kehidupan yang ditanamkan kepadanya.

Ia lahir dari seorang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, penganut Hindu Bali. Ibunya merupakan putri dari seorang Brahmana dari Kerajaan Singaraja (Buleleng) Bali. Dari ibunya, ia menyerap Hinduisme dan Budhaisme.

Namun, yang paling berkesan dari ibunya adalah, sikap anti penjajahan Belanda akibat pengalaman traumatiknya. Penaklukan Belanda atas Kerajaan Buleleng, membuat keluarga ibunya menderita.

Permasalahan lain yang menjadi trauma bagi bagi Nyoman Rai tatkala hendak mengunjungi Sukarno di penjara Sukamiskin, Bandung. Saat bertanya kepada petugas rumah tahanan, bukan jawaban yang diperolehnya. Ia dibentak dan diusir untuk pergi dari rumah tahanan tersebut.

Sejak saat itu dendam Nyoman Rai Srimben tidak terbendung, di manapun berada jika melihat orang Belanda, ia memperlihatkan ketidaksukaannya. Di saat yang sama rumahnya di Blitar diawasi, karena putranya melawan penjajahan Belanda.

Ia kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya di rumah tahanan kepada suaminya, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Mendengar pengakuan tersebut, Soekemi ikut marah dan memutuskan untuk pensiun dini sebagai guru dari Kementerian Pendidikan Belanda di Batavia.

Sang ayah, Raden Soekemi merupakan seorang priyayi tingkat bawah, keturunan Sultan Kediri. Ia seorang muslim yang menjalankan ajaran Theosofi Jawa. Kendati kehidupan keluarganya memiliki perbedaan latar belakang perbedaan agama, tidak membuat Sukarno mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan agamanya. Ia memilih Islam sebagai agamanya.

Perbedaan keyakinan agama kedua orangtuanya membuatnya menjadi sosok yang lebih nasionalis. Secara resmi agamanya memang Islam, namun latar belakang Kejawen, Hindu, Buddhisme dan animism amat kuat mendasari spiritualitas Sukarno.

Hal tersebut membuatnya jauh dari sifat ‘ortodoksdogmatis’ dalam pemikiran agamanya. Tidak bercorak formal santri dalam ke-Islam-annya.

Tak pelak, dari kakek-neneknya, Sukarno menyerap kebudayaan Jawa dan mistik. Dan dari ayahnya, Raden Soekemi, ia belajar Islam (Jawa) atau Kejawen dan teosofi. Ahli antropologi Amerika Serikat menyebutnya sebagai Islam abangan, yakni: golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri.

Istilah abangan berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement