Rabu 31 Aug 2016 09:30 WIB

Islam Minoritas, Warisan Kemiskinan, dan Etos Hidup Muslim Indonesia

Warga memanfaatkan air bersih di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, Senin (9/5).  (Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga memanfaatkan air bersih di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, Senin (9/5). (Republika/Yasin Habibi)

Islam Minoritas, Warisan Kemiskinan, dan Etos Hidup Muslim Indonesia

Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Ada hal yang menarik ketika Sri Mulyani comeback untuk memberi kuliah umum di Universitas Indonesia, 27 Juli lalu. Kala itu, Sri belum berstatus Menteri Keuangan, melainkan direktur Bank Dunia.

Dalam ceramahnya, alumni Ilmu Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi UI angkatan 1986 menyinggung soal ketimpangan di Indonesia. Ya, ini semua soal jurang antara si kaya dan miskin di Indonesia.

Sebuah jurang nasib yang semakin menganga akibat tak meratanya ekonomi di negeri kita. Yang kaya semakin kaya dan sejahtera. Sedangkan yang miskin semakin menderita.

Bayangkan saja, pada 2003, ukuran ketidakmerataan ekonomi di Indonesia berada pada koefisien 30 persen. Angka ini semakin meroket pada 2014 menjadi 41 persen.

Dalam tulisan ini, saya tak ingin terlalu jauh membahas hitung-hitungan di balik ketidakmerataan ekonomi. Saya hanya ingin fokus membahas siapakah si kaya dan si miskin di Indonesia.

Siapakah yang disebut miskin di Indonesia? Berbicara soal orang miskin, kita tentu berbicara soal 28,51 juta jiwa anak bangsa. Mereka ini hanya mampu hidup dengan penghasilan sekitar Rp 10 ribu per hari.

Kalau kita pakai ukuran yang lebih ketat soal standar kemiskinan, kita akan mendapati jumlah yang jauh lebih besar. Jika tolok ukur kemiskinan adalah orang dengan penghasilan di bawah dua dolar AS per hari, maka total ada sekitar 50 persen dari penduduk Indonesia yang berstatus miskin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement