Selasa 01 Apr 2014 17:35 WIB

Muslim Tionghoa Siap Tunjukkan Eksistensinya (2-habis)

Jamaah mendengarkan Khotbah Jumat di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta. Masjid yang berarsitektur khas etnis Cina ini banyak dikunjungi Muslim keturunan Tionghoa.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Jamaah mendengarkan Khotbah Jumat di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta. Masjid yang berarsitektur khas etnis Cina ini banyak dikunjungi Muslim keturunan Tionghoa.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Selalu beretika baik, perlu ditunjukkan agar masyarakat Tionghoa tahu bahwa Islam itu mengajarkan hal yang baik dan tidak memandangnya sebagai hal yang negatif lagi.

Selama ini, orang Tionghoa selalu menganggap Islam identik dengan orang miskin, bodoh, tak berpendidikan, dan banyak melakukan kekerasan.

"Bahkan, mereka selalu mengejek bahwa orang Tionghoa yang masuk Islam itu hanya karena agar dibolehkan punya istri lebih dari satu. Hal-hal seperti ini perlu diluruskan," jelas Ketua PITI Jakarta Deny Sanusi.

Ia mengakui, untuk merengkuh kaum Tionghoa ini, dakwah Islam pun perlu dilakukan orang yang sesama etnis. Untuk itu, ia pun berharap agar tokoh-tokoh Tionghoa Muslim semakin banyak dan bisa mengenalkan konsep Islam yang sebenarnya pada semua masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia.

Ia mengakui, kini dakwah di kalangan masyarakat Tionghoa semakin bagus. PITI yang tadinya mati suri kini bangkit lagi dan bisa menjadi wadah dalam mengedukasi mengenai konsep Islam yang sebenarnya ini.

Ia optimistis dengan perkembangan Muslim Tionghoa di Indonesia. Kini, generasi muda di Indonesia semakin kritis dan berpendidikan. Mereka bisa membuka mata dan memilih mana yang baik dan benar serta berani menentukan konsep mana yang mereka percaya dan pilih.

Selama ini, menurutnya, hambatan yang ia temui adalah kekurangan SDM kurangnya orang Tionghoa yang mau terbuka pada keislamannya dan mau menjelaskan Islam yang sebenarnya pada orang yang belum menjadi Muslim.

Perhatian pemerintah pada kaum Muslim Tionghoa pun belum ada. Padahal, meskipun jumlahnya kecil, dibandingkan seluruh penduduk Indonesia, eksistensinya perlu dijaga, juga masalah yang dihadapi lebih kompleks.

Mengenai masalah imlek, menurutnya, kaum Muslim Tionghoa ini tetap merayakannya. "Itu adalah budaya, bukan ritual musyrik atau apa pun sebutannya. Saya sendiri telah berkonsultasi dengan MUI dan asalkan tidak menggoyang tauhid boleh-boleh saja dilakukan," ujarnya.

Anton Medan juga berpendapat sama. Bahkan, menurutnya, imlek bisa menjadi sarana silaturahim untuk mengenalkan Islam pada kaum Tionghoa yang lain. "Kami akan membuat acara yang menjadikan satu imlek dan maulid agar masyarakat Tionghoa yang lain jadi mengenal tahu eksistensi saudaranya yang Muslim," katanya.

Ia sering mengadakan kegiatan kemanusiaan dan kerja sama dengan kelompok Tionghoa yang lain, meski mereka bukan Muslim. "Tionghoa itu kan sukunya, Islam itu agamanya. Itu kan berbeda," ujarnya.

Dengan cara ini, maka akan memberikan kesan bahwa Islam itu juga peduli pada sesama manusia dan tidak seperti dugaan mereka selama ini. Islam yang damai, moderat, dan mengajarkan untuk selalu berbuat positif akan semakin dikenal masyarakat Tionghoa lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement