Kamis 21 Feb 2019 08:38 WIB

Kajian Kitab Klasik Diminati Jamaah

Menebar hoaks, memaki, dan mencela adalah contoh bersarangnya nafsu lawwamah.

Pimpinan Pondok Pesantren Darul Akhyar Kampung Parungbingung, Dr Syamsul Yakin MA, mengisi kajian kitab
Foto: Dok Masjid Al-Ittihad
Pimpinan Pondok Pesantren Darul Akhyar Kampung Parungbingung, Dr Syamsul Yakin MA, mengisi kajian kitab

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kesadaran beragama di kalangan kaum Muslimin Indonesia makin meningkat. Kesadaran tersebut, kata dosen UIN Jakarta, Dr Syamsul Yakin MA, terjadi di semua kalangan.

“Yang menarik, kecenderungan kelas menengah atas makin suka tasawuf. Kajian kitab-kitab klasik atau tsurats -- yang juga banyak mengupas soal tasawuf --, diminati jamaah,” kata Syamsul Yakin dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (20/2).

Pimpinan Pondok Pesantren Darul Akhyar, Kampung Parungbingung, Depok, Jawa Barat itu mencontohkan, setiap Rabu pagia ia mengisi  pengajian di Masjid Raya Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Ta’lim tersebut mengkaji kitab Nashaihul ‘Ibad karya Ibnu Hajar al-Asqalaniy. “Kajian tersebut diikuti oleh sekitar 100 jamaah, diawali dengan shalat  Shubuh berjamaah,’ tuturnya. 

Syamsul Yakin menyebutkan,  kajian Rabu (20/2), memutus  tema tentang memutus kesukaan nafsu. Dalam Alquran, Allah memperkenalkan tiga macam nafsu. Pertama, nafsu muthmainnah, yakni nafsu yang tenang karena diselimuti iman, dibalut amal shaleh, dan senantiasa taat kepada Allah SWT.

Tentang hal ini, Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha  lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr/89: 27-28).

Kedua, nafsu lawwamah, yakni yang kerap mencela siap saja yang berbuat salah, sengaja atau tidak. Allah SWT bahkan bersumpah demi nafsu lawwamah, “Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah/75: 2).

"Dalam konteks kekinian, menebar hoaks, memaki, dan mencela adalah contoh bersarangnya nafsu lawwamah di dada seseorang, yang seharusnya dihindari" ujar Syamsul Yakin.

Ketiga, nafsu ammarah bi al-su’i, yakni nafsu yang kerap memprovokasi tuannya untuk berbuat dosa, baik dengan lisan, tangan, hati, pikiran di darat maupun di lautan, bahkan di angkasa. Allah memberi petunjuk, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf/12: 53).

Menurut Abu Bakar al-Syibli, seperti dikutip Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam kitab Nashaihul  ‘Ibad,  “Apabila kamu ingin merasa tenang bersama Allah, maka putuskanlah kesukaan nafsumu”. 

Diceritakan kembali oleh Syaikh Nawawi Banten, setelah al-Syibli wafat, seseorang bermimpi bahwa Allah bertanya kepada al-Syibli. Orang itu bercerita, “Allah bertanya kepada al-Syibli, ‘Hai, Abu Bakar, tahukah kamu mengapa Aku memberimu ampun?’

 Aku jawab, ‘Karena amal baikku’. Allah berfirman, ‘Bukan’. Aku jawab, ‘Karena aku ikhlas beribadah’. Allah  berfirman, ‘Bukan”. Aku jawab, ‘Karena hajiku, puasaku, dan hajiku’. Allah berfirman, ‘Bukan’. Aku menjawab, ‘Karena kepergianku menemui orang-orang shaleh dan menuntut ilmu’. Allah berfirman, ‘Bukan’.

 Aku bertanya, ‘Wahai Tuhanku jadi sebab apa?’ Allah berfirman, ‘Ingatkah kamu saat kamu berjalan di depan pintu gerbang Kota Baghdad, kamu menemukan seekor kucing kecil. Udara dingin telah membuatnya lemah, hingga ia teronggok disebabkan begitu dinginnya. 

 Lalu kamu menyelamatkannya dengan perasaan sayang dan meletakkanya di atas tungku hangat untuk menjaganya dari kematiannya’. Aku menjawab, ‘Ya aku ingat’. Lalu Allah berfirman, ‘Karena kasih sayangmu kepada kucing itulah Aku menyayangimu’. Bentuk sayang Allah dalam hal ini kepada al-Syibli adalah memberi ampunan untuknya.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement