Kamis 31 Jan 2019 16:58 WIB

IHW Sebut UMKM Malaysia Lebih Unggul Ketimbang Indonesia

IHW menilai perjanjian tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan UMKM di Indonesia.

Rep: Novita Intan/ Red: Andi Nur Aminah
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah
Foto: republika/Ali Yusuf
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Watch (IHW) menanggapi penundaan perjanjian halal antara Malaysia dan Indonesia. Semestinya perjanjian tersebut telah ditandatangani pada 26 Januari 2019, namun terjadi penundaan hingga April mendatang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Departemen Pembangunan Islam Malaysia (Jakim) dan Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag). Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdulllah menilai perjanjian tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan UMKM di Indonesia, namun justru merugikan.

“Kita sebagai bangsa harus mampu memproteksi UMKM kita dan pasar domestik kita untuk kepentingan bangsa, karena bila aparat penyelenggara negara tidak memiliki kepekaan terhadap issu ini, tidak lama lagi pasti UKM kita bakal gulung tikar dan bakal jadi penonton pasar. Seperti saat ini pasar kita dibanjiri produk asing,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (31/1).

Menurutnya, selama ini Indonesia menjadi ‘penonton’ UMKM, yang didominasi produk dari perusahaan multinasional seperti Unilever, Nestle, Danone dan lainnya yang sebagian besar tidak diproduksi di dalam negeri. “Perlu dipahami bahwa UKM Malaysia bagaimanapun jauh lebih baik dari UKM Indonesia, baik dari kemampuan kapitalnya, teknis maupun human capital-nya," ujar Ikhsan.

Pemerintah Malaysia, dia mengatakan, memberikan dukungan penuh bagi perkuatan UKM baik dari segi modal, pemberian knowledge, labelisasi halal sampai subsidi ekspor ke negara tujuan. “Lalu apa yang dilakukan BPJPH kepada UKM kita dan produknya. Jadi kami harap jangan latah dan tidak paham. Ini sangat merugikan bangsa dan kurang memiliki perasaan dan kebijakan yang kurang pro rakyat,” ucapnya.

Untuk itu, pihaknya meminta BPJPH mengkaji dengan baik persoalan ini dan harus melibatkan semua stake holder industri perdagangan dan Kementrian Koperasi. “Kalau perlu tidak usahlah MoU yang seperti ini dilakukan dengan negara lain karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Lebih baik BPJPH bekerja sama dgn BPOM bagaimana mencegah semakin banyaknya produk asing dan lokal ilegal yang beredar di masyarakat, serta fokus mencetak auditor halal,” ungkapnya.

Ikhsan mengatakan, MOU jaminan produk halal dan sertifikasi antara Malaysia dan Indonesia pada bulan April nanti, bisa berakibat pada matinya produk UMKM Indonesia. "Ingat batik dan tempe saja Malaysia klaim kok sebagai milik mereka. Apalagi diberikan legitimasi dan kemudahan melalui MoU,” ucapnya.)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement