Lahan itu bisa ditanami sendiri oleh si empunya atau diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan apa pun. Pemilik mengawasi lahan pertaniannya, sedangkan hasilnya diambil oleh penggarapnya. Ada juga cara lain agar lahan pertanian menghasilkan, yaitu dengan cara muzara’ah.
Melalui cara ini, pemilik lahan menyerahkan benih dan peralatan kepada orang yang akan menanaminya, dengan ketentuan ia mendapatkan hasil sebesar yang ditentukan sebelumnya. Misalnya, seperempat, setengah, atau besaran lainnya sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasul pernah menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya diberikan kepada pemilik tanah. Ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Mereka menyatakan, muzara’ah merupakan perkara yang baik dan sudah biasa berlaku.
Hal itu juga dilakukan Rasul sampai beliau meninggal dunia, dilanjutkan Khulafaur Rasyidin dan orang-orang berikutnya. Meski demikian, kata al-Qaradhawi, ada bentuk muzara’ah yang berlaku pada zaman Nabi Muhammad SAW, tetapi kemudian dilarangnya. Sebab, ada unsur penipuan di dalamnya yang melahirkan sengketa.
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menuturkan, ada sebuah kasus muzara’ah yang melahirkan persengkataan di antara dua sahabat Anshar. Bahkan, mereka hampir saling membunuh. Rasul mengatakan, jika begitu keadannya, ia meminta mereka untuk tak lagi mengulanginya.