Rabu 16 Jan 2019 23:47 WIB

Adab-Adab Seputar Dakwah

Berdakwah bukan sekadar bentuk ajakan biasa.

Diskusi dakwah di masjid (ilustrasi)
Foto: Republika TV
Diskusi dakwah di masjid (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Berdakwah merupakan salah satu aktivitas yang mulia. Dakwah mengajak keluarga, sahabat karib, tetangga, atau orang yang tak dikenal untuk tetap konsisten terhadap jalan kebaikan.

Namun, berdakwah bukan sekadar bentuk ajakan biasa. Karenanya, ibarat membangun istana megah, dakwah butuh seni dan kepakaran. Seperti apakah adab dan etika berdakwah?

Syekh Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada mengupasnya dalam Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Quran dan as-Sunah. Ia mengatakan, seorang yang berkeinginan terjun di dunia dakwah harus mengetahui terlebih dahulu adab-adab seputar dakwah.

Tujuannya, agar seorang dai yang mengajak kepada agama bisa mengamalkan adab-adab tersebut. Dengan demikian, diharapkan proses itu bisa mengantarkannya pada kesuksesan berdakwah.

 

Syekh Abdul Aziz mengemukakan, adab yang paling utama dan men dasar kala hendak mengajak orang lain ke jalan kebajikan ialah meluruskan niat. Menurutnya, ikhlas adalah penentu diterima atau tidaknya suatu amalan.

Bila dakwah yang ia lakukan tidak berdasar pada ke ikhlasan maka hal ini bisa berdampak pada hilangnya nilai pahala dakwahnya. Selain itu pula, dampak lebih jauh ialah dakwah yang ia lakoni terancam tak berbuah.

Menurut Abdul Aziz, selain meluruskan niat, seorang dai harus memiliki kompetensi dan kapasitas ke ilmu an yang mumpuni. Membekali diri dengan ilmu-ilmu syariah merupakan hal mutlak bagi dai. Pengetahuan itu, bisa lebih disempurnakan dengan wawasan kontemporer yang akan memperkaya materi dan membuat dakwah yang ia jalankan tidak monoton.

Pentingnya mempersenjatai diri de ngan ilmu bagi seorang dai, ditegaskan Allah dalam firman-Nya: “Katakanlah, “Inilah jalan (agama)- ku, aku dan orang-orang yang meng ikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yusuf [12] : 108)

Syekh Abdul Aziz menambahkan, hendaknya dai memiliki kemampuan membaca situasi dan kondisi serta kesiapan objek dakwah. Pun demikian dengan metode dan cara penyampaian dakwah. Tidak semua metode layak digunakan. Misalnya saja, cara yang bermanfaat bagi masyarakat awam belum tentu bisa dipakai mendakwahi raja atau penguasa.

Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa dan Harun AS. Allah SWT menyerukan kepada keduanya agar menghadapi Firaun secara elegan dan bersahaja. “Maka, berbicara lah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaaha [20] :44).

Masuk dalam poin ini, lanjut Abdul Aziz, ialah kepekaan sang dai untuk memperhatikan waktu dakwah. Ia mencontohkan, hendaknya tidak ber dakwah saat ia tengah asyik tidur atau pun ketika sedang larut bercengkrama dengan keluarga saat liburan. Seorang dai juga sebaiknya menghindari berceramah di hadapan objek dakwah yang dirundung kemarahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement