Selasa 11 Dec 2018 23:14 WIB

MUI Diminta Ambil Alih Sementara Sertifikat Halal

UU JPH yang terbit pada 2014 memberi tenggat waktu hingga Oktober 2019 .

Rep: Antara/ Red: Andi Nur Aminah
Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan Srie Agustina (kanan) meninjau stok beras di gudang Bulog Serang, di Serang, Banten, Selasa (11/12/2018). Menjelang libur Natal dan Tahun Baru harga bahan pokok di Banten masih stabil kecuali harga telur, daging ayam, dan beras yang harus segera dikendalikan supaya tidak melonjak melampuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
Foto: Asep Fathulrahman/Antara
Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan Srie Agustina (kanan) meninjau stok beras di gudang Bulog Serang, di Serang, Banten, Selasa (11/12/2018). Menjelang libur Natal dan Tahun Baru harga bahan pokok di Banten masih stabil kecuali harga telur, daging ayam, dan beras yang harus segera dikendalikan supaya tidak melonjak melampuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia diminta mengambil alih sementara proses sertifikasi halal yang sifatnya wajib (mandatory) sesuai Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Karena Badan Penyelenggara JPH belum kunjung siap menerbitkan sertifikat kehalalan produk.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah di Jakarta, Selasa (11/12) mengatakan, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) hingga kini belum kunjung bisa menerbitkan sertifikasi halal yang sifatnya mandatory. Kendala BPJPH hingga saat ini, kata dia, belum kunjung melahirkan auditor produk halal yang menjadi unsur penting dari rangkaian penerbitan sertifikasi halal.

Dalam sertifikasi halal setidaknya melibatkan BPJPH sebagai regulator, Lembaga Pemeriksa Halal dengan didalamnya terdapat auditor dan MUI sebagai pemberi fatwa produk. "Bagaimana mau ada sertifikat yang terbit jika auditor yang diakui saja sampai sekarang belum ada," katanya.

Sesuai amanat UU JPH, semua produk wajib mendaftarkan ke BPJPH untuk mendapatkan sertifikasi halal atau tidak halal. Jika tidak dilakukan maka dianggap melanggar undang-undang yang berlaku.

UU JPH yang terbit pada 2014 memberi tenggat waktu hingga Oktober 2019 atau sekitar lima tahun untuk dunia usaha agar memiliki sertifikat tersebut. Tetapi sejak BPJPH dibentuk pada 10 Oktober 2017 hingga kini belum ada satupun sertifikat halal yang diproses dan diterbitkan.

Ikhsan mengatakan sertifikat halal saat ini sifatnya voluntary atau berdasar kesukarelaan produsen. Saat ini sertifikat yang sifatnya voluntary itu ditangani salah satunya oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Jika BPJPH belum kunjung bisa menerbitkan sertifikasi halal mandatory untuk dunia usaha maka jika berlarut akan menimbulkan ketidakpastian. Itu pulalah yang menjadi alasan mengaoa wewenang itu sebaiknya diberi sementara kepada LPPOM MUI seiring BPJPH mempersiapkan internalnya sehingga bisa menerbitkan sertifikat halalnya.

Hal itu sesuai UU JPH Pasal 59 dan 60 yang intinya memungkinkan MUI untuk menjadi pelaksana sertifikasi halal sampai BPJPH terbentuk atau siap melakukan tugasnya. Kendati demikian, Ikhsan mengingatkan jika pemerintah benar menunjuk MUI sebagai pelaksana sertifikasi halal untuk sementara maka harus ada perhatian dari pemerintah utamanya terkait pendanaan.

Salah satu landasan pentingnya agar Presiden Joko Widodo bisa menerbitkan Perpres menyangkut kewenangan MUI untuk mengambil alih sementara tugas BPJPH sampai badan negara itu siap.

"Sistem seritifikasi saat ini berjalan secara voluntary dilakukan LPPOM MUI. Dengan keadaan sekarang menjadi penting untuk menyelamatkan ekonomi dan menghilangkan kegelisahan dunia usaha. Tapi negara harus hadir dengan kasih anggaran supaya UMKM itu bisa melakukan sertifikasi halal. Jangan disuruh tapi tidak diberi anggaran," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement