REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan kiai, ustaz, dan ustazah menerima ijazah kitab kitab Qomi'ut Thughyan di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Pasirnangka, kec. Tigaraksa Tangerang, Senin Kemarin. Penyerahan ijazah dihadiri KH Maruf Amin.
Selain dihadiri oleh MUI se-kabupaten Tangerang, acara tersebut juga dihadiri oleh pimpinan ormas Islam, Muspika, Muspida, dan kaum emak-emak yang terhimpun dalam majelis ta'lim se-kabupaten Tangerang.
MUI Kecamatan Sukadiri yang mendapatkan ijazah langsung diantaranya H. Taufiq Munir (Ketum), KH. Mukhlis Husin (Penasehat), dan Ustadz Tendi Hidayat (Komisi Pendidikan dan Kaderisasi).
Dalam siaran persnya yang diterima, Rabu (21/11), acara yang bertajuk "Silaturahim, Ijazatul Kubro dan Dialog Kebangsaan" yang bertema: Merawat Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniyah, dan Ukhuwah Insaniyah tersebut disambut meriah oleh masyarakat dan para pimpinan pondok pesantre. karena "ijazah" (dalam tradisi pesantren) merupakan sebuah lisensi bagi para kiai untuk mengajarkan sebuah ilmu atau kitab kepada santri-santrinya.
Alasan mengapa kitab Qomi'ut Thughyan, KH. Ues Nawawi (pimpinan ponpes Tarbiyatul Mubtadiin tsb.) menyatakan bahwa kitab ini merupakan salah satu kitab yang paling penting diantara puluhan kitab karya syekh Nawawi Al Bantani di bidang aqidah (tauhid). "Ini relevan. Untuk membentengi generasi milenial dari akidah-akidah yang merusak," katanya.
Di Nusantara, tradisi “sanad” dan “ijazah” masih benar-benar dijaga hingga kini di dalam lingkungan pesantren tradisional (NU). Di beberapa Pesantren di Jawa, khususnya Banten, setiap selesai mengkhatamkan sebuah kitab, sang kiai pasti akan memberikan ijazah dan sanad atas kitab tersebut. Tradisi “sanad” dan “ijazah” ini, khususnya periwayatan, lebih sangat dijaga lagi dalam bidang keilmuan hadits.