Jumat 21 Sep 2018 17:10 WIB

Sedih Fitrah Manusia

Namun dilarang keras melakukan ratapan dan jeritan.

Jangan Bersedih (Ilustrasi)
Jangan Bersedih (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sedih merupakan bagian fitrah dari perasaan manusia. Rasulullah SAW merasakan kesedihan kala ia ditinggal wafat paman yang selalu melindungi dakwahnya di Makkah, Abu Thalib.

Menyusul kemudian turut wafat istri yang sangat ia cintai, Khadijah RA. Kesedihan juga menggelayuti Rasulullah SAW kala anak laki-lakinya, Ibrahim meninggal dunia. Hadis dalam Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa Rasulullah tampak meneteskan air mata kala Ibrahim wafat.

Hal ini menunjukkan, seseorang wajar bersedih bahkan menangis jika ditinggal wafat seseorang. Namun, ia dilarang keras melakukan ratapan dan jeritan.

Dalam sebuah hadis dari Umar bin Khattab RA, dia berkata jika Nabi SAW bersabda, “Seorang mayat akan diazab di kuburnya karena diratapi.” Dalam riwayat lain, “Selagi dia diratapi.” (HR Muttafaq 'Alaih).

Dalam syarah Riyadush Shalihin disebutkan kata maa niikha 'alaih yang memiliki arti selagi dia diratapi berasal dari kata an-niyaahah. Maknanya adalah meratapi mayat dengan menangis keras serta menyebut-nyebut sifatnya.

Hadis tersebut banyak diurai oleh Syekh Salim bin Ied al-Hilali. Makna pertama adalah hadis tersebut menyiratkan jelas keharaman meratapi mayit. Beberapa ulama berbeda pendapat dalam menakwilkan hadis tersebut. Ada yang berpendapat hadis itu hanya diperuntukkan kepada mereka yang dulunya biasa meratapi mayat.

Ada pula yang berpendapat hadis ini ditujukan bagi seseorang yang berwasiat kepada keluarga untuk meratapi mayatnya kelak. Hadis ini juga ditujukan bagi mereka yang lalai melarang keluarganya untuk tidak meratapinya. Ada pula yang menakwilkan hadis ini bahwa mayat diazab sesuai apa yang diratapkan keluarga.

Contohnya, jika seseorang yang semasa hidupnya berbuat zalim kepada siapa saja, kemudian keluarganya meratapi dengan menyebut-nyebut perbuatan mayit di masa lalu. Maka malaikat memukulnya dan berkata, “Apakah engkau dulu seperti itu!”

Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Tahdziibus Sunan berpendapat, mayat akan merasa sedih dan tersiksa karena orang yang masih hidup menangisinya.

Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi juga melarang beberapa perbuatan dalam meratapi mayit. Kaum Muslimin dilarang melakukan nadb, yakni menyebut seraya menghitung kebaikan-kebaikan mayit.

Dalil yang menunjukkan akan keharamannya adalah hadis riwayat Abu Sa'id RA. Ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam melaknat wanita yang meratap dan mendengarkannya.” (HR Abu Dawud).

Dilarang juga niyahah, yakni mengeraskan suara dengan menghitung kebaikan si mayit. Diriwayatkan dari Ummu Athiyyah RA, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam mengambil janji dari kami untuk tidak meratap.” (Muttafaq `Alaih).

Dua hadis tersebut menunjukkan akan haramnya niyahah dan mendengarkannya. Sebab, tidak akan dilaknat melainkan perkara yang haram. Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ibnu Mas'ud RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang menampar pipi, merobek saku, dan menyeru dengan seruan kaum Jahiliyah.”

Juga diriwayatkan dari hadis Abu Musa al-Asy'ari RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Aku berlepas diri dari orang yang menggundul rambutnya (al-Halqu), mengeraskan suaranya (as-Salqu), dan menyobek bajunya (al-Kharqu).”

Al-Halqu adalah menggunduli rambut kepala saat terkena musibah. As-Salqu adalah mengeraskan suara seraya menangis tatkala terkena musibah. Sedangkan, Al-Kharqu adalah menyobek pakaian tatkala tertimpa musibah, juga menyobek saku.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement