Kamis 20 Sep 2018 18:03 WIB

Agar Konsisten

Bukan perkara mudah memang tetap konsisten memegang agama Allah SWT.

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Hidup memang penuh lika-liku. Tak selamanya lurus, ada kalanya jalan yang ditempuh berkelok-kelok. Demikian pula soal keteguhan hati. Terkadang sangat kuat dan tak jarang berada dalam titik nadir. Bukan perkara mudah memang tetap konsisten memegang agama Allah SWT.

Tetapi, apa yang membuat Abdullah bin Hudzafah bin Qais as-Sahami tak gentar kala Umar bin Khatam mengutusnya guna berdakwah ke penguasa Romawi. Abdullah menolak tawaran bergelimang gemerlap duniawi dengan konsekuensi meninggalkan agama Allah SWT.

Dia pun akhirnya ditawan dan disiksa. Anak panah demi anak panah bersarang ke tangan hingga sekujur tubuhnya yang dilepaskan dari jarak dekat. Bahkan, sesaat sebelum kepala Abdullah berpisah dari badannya, dia tak ingin meninggalkan keyakinan yang dia anut.    

Dr Muhammad Musa as-Syarif memaparkan bahwa tsabat atau konsistensilah rahasia di balik ketegaran itu. Tetapi, diakui tak mudah menjalankannya. Fakta tersebut dia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul ats-Tsabat. Buku ini bolehlah sederhana, tetapi sarat dengan pesan maknawi akan pentingnya menjaga konsistensi tersebut.

Muhammad menjelaskan ada beberapa hal yang bisa menggoyahkan konsistensi itu. Sebut saja, yang paling sering bercokol ialah kecintaan pada dunia. Takut hilang pangkat, khawatir rezeki hilang, atau terlalu berlebih meletakkan kecintaan pada anak istri melebihi apa pun.

Karena, sejatinya, harta, anak, dan jabatan yang diemban sekalipun di satu sisi adalah anugerah dan amanat, tetapi pada saat bersamaan, juga bisa menjadi cobaan. “Sesungguhnya, hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS at-Taghabun [64]: 15).

Faktor kegagalan konsistensi adalah meremehkan perkara-perkara kecil, termasuk soal dosa. Menganggap emeh dosa-dosa ringan, menyebabkan dosa-dosa itu kian berlipat ganda. Karena itu, Rasulullah dalam Hadis Riwayat Abdullah bin Mas’ud mengingatkan agar menghindari dosa kecil karena bisa melenakan.

Faktor pemicu sulitnya konsistensi adalah sikap tak sabar dan terburu-buru. Ingin segera mendapatkan hasil justru memunculkan barang instan. Tak bertahan lama. Konsistensi dipupuk melalui proses yang bertahap. Bukan dari loncatan yang tergesa-gesa. Sebab itu, waspadalah. Terburu-buru memang adalah karakter manusia. Ini seperti disebut di surah al-Anbiya’ ayat 37.

Salah satu faktor penghalang konsistensi berikutnya adalah propaganda media. Pemicu yang satu ini juga tak kalah mengakibatkan dampak. Jangkauannya yang luas dan kedekatannya dengan umat manusia menuntut penggunanya harus lebih cerdas dan selektif.

Maka, apa yang mesti dilakukan seseorang agar dapat tetap konsisten memegang dan menjalankan agama yang dianutnya? Dr Muhammad kembali mengungkapkan, hal yang tak bisa dilewatkan ialah membaca dan merenungkan ayat-ayat Alquran. Bertadaburlah. Karena, dalam Kitab Suci tersebut terdapat pelajaran dan pesan berharga terkait konsistensi.

Segudang ayat mengisahkan metode yang mengingatkan tata cara berkonsistensi.  Misalnya, bisa dirujuk surah al-Anfal ayat 12, Ali Imran ayat 146, dan surah Hud 120. Perhatikan saja sebagai contoh surah az-Zuhruf ayat 43, “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.”

Minta perlindungan kepada Allah selalu agar memberikan bimbingan tetap konsisten di jalan-Nya. Karena, seperti disebutkan di surah Yusuf ayat 64, Allah adalah sebaik-baik pelindung. Agar lebih utama, berdoalah secara spesifik agar diberikan konsistensi tersebut. Dalam sebuah riwayat, Rasul pernah berdoa sebagai berikut, “Allahumma inni as’aluka ats-tsabata fi al-amri wa al-azimata ‘ala ar-rusydi. (Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu konsistensi dalam suatu urusan dan tekad yang kuat terhadap kebijaksanaan.”

Mendekatlah kepada orang-orang saleh dan mintalah petuah bijak mereka. Ini penting mengingat inti dari sendi agama, sebagaimana riwayat Muslim, ialah tradisi saling menasihati. Keteladanan itu pernah dicontohkan oleh Nabi Musa AS tatkala menunjuk saudaranya, Harun, sebagai penasihat yang memberi rambu-rambu atas tiap langkah yang dia ambil. Kisah tersebut tertuang di surah Thaha ayat 29-34.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement