Selasa 04 Sep 2018 15:41 WIB

Masjid Wapauwe, Tertua di Indonesia Timur

Masjid itu didirikan pada 1414 dan hingga hari ini masih kokoh berdiri.

Rep: c02/ Red: Agung Sasongko
Masjid Wapauwe
Foto: Youtube
Masjid Wapauwe

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut sebuah versi, Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, India, sekitar abad ke-13 M. Ketika Islam masuk ke Indonesia, perdagangan rempah-rempah masih didominasi oleh Cina dan Arab. Para pedagang ini merajai jalur perdagangan yang penting, seperti pesisir Sumatra, Semenanjung Malaya, Jawa, dan Maluku.

Di Indonesia bagian timur, Islam mampir lebih dulu ke Maluku sebelum menyebar ke Makassar dan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Ketika Portugis datang ke kepulauan itu pada 1512 M, Islam telah tersebar di Maluku. Raja Ternate, salah satu kerajaan terbesar di Maluku, Bayang Ullah, telah memeluk Islam.

Diperkirakan, Islam mulai bersemi di Maluku pada tahun 1400-an. Hal ini dibuktikan dengan sebuah masjid yang berdiri selama tujuh abad di Pulau Ambon. Masjid yang terletak di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, ini merupakan satu bukti sejarah yang menandai perkembangan Islam di Provinsi Seribu Pulau tersebut.

photo
Masjid bersejarah Wapauwe

Masjid itu didirikan pada 1414 dan hingga hari ini masih kokoh berdiri. Awalnya, masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di lereng Gunung Wawane oleh keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloko Kie Raha (empat gunung Maluku), Pernada Jamilu. Kini, orang-orang biasa menyebutnya Masjid Wapauwe.

Masjid yang masih dipertahankan bentuk aslinya itu berdiri di atas tanah yang disebut Teon Samaiha oleh warga setempat. Letaknya di antara permukiman penduduk Kaitetu dan bentuknya sangat sederhana. Arsitekturnya sangat unik dan bersifat elementer.

Masjid ini dibangun tanpa paku yang menyatukan setiap bagian-bagiannya sehingga dapat dibongkar pasang. Untuk menyambungkan setiap bagian bangunan, perancangnya hanya menggunakan pasak kayu. Konstruksi ini memungkinkan masjid dapat dipindah-pindahkan.

photo
Bagian dalam Masjid Wapauwe

Bentuk masjid ini seperti bujur sangkar dengan ukuran hanya 10 x 10 meter. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini tidak memiliki serambi. Dalam renovasi dilakukan penambahan serambi yang memiliki ukuran 6,35 x 4,75 m. Dinding masjid ini dibuat dari gaba-gaba, yaitu pelepah sagu yang dikeringkan. Pada renovasi setengah dinding dibuat dengan campuran kapur.

Mihrab masjidnya berukuran 2 x 2 meter, seperti umumnya masjid di Jawa dan Bali. Mimbar masjid terbuat dari kayu yang bentuknya seperti kursi. Ukurannya cukup tinggi sehingga mimbar ditambahi anak tangga. Pada bagian atasnya dihiasi lengkungan dan ukiran kayu. Beduk terbuat dari gelondongan kayu utuh dengan diameter dua meter. Beduk diikat dengan rotan dan digantung pada balok di atasnya.

Pada bagian dalamnya terdapat ciri khas bangunan joglo, yaitu saka guru. Saka guru adalah empat pilar yang terletak di tengah bangunan tradisional Jawa. Atapnya juga dipengaruhi oleh bangunan Jawa, yaitu berupa atap tajug bertingkat. Saka guru menggunakan kayu dengan ukuran 22 x 22 cm persegi.

photo
Bagian dalam masjid Wapauwe

Di atas saka guru terdapat atap piramida dengan kemiringan yang cukup tajam, lalu diikuti di bawahnya dengan atap yang kemiringannya landai, persis seperti atap bangunan tradisional Jawa. Atapnya dibuat dari daun rumbia. Puncak menara terbuat dari kayu yang berbentuk silindris dengan alur-alur dan molding.

Di antara atap di atas dan atap yang di bawah terdapat lubang jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Bagian paling bawah atapnya menjorok ke luar dan membentuk sebagian dari elips seperti daun. Di setiap ujungnya terdapat ukiran bertuliskan kata "Allah" dan "Muhammad".

Di dalam masjid ini tersimpan mushaf Alquran yang diperkirakan menjadi mushaf tertua di Indonesia. Mushaf tersebut ditulis tangan oleh Imam Muhammad Arikulapessy dan selesai pada 1550. Mushaf ini ditulis tanpa iluminasi. Di masjid ini juga terdapat Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada 1590, tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Mushaf kedua ini ditulis oleh cucu Imam Arikulapessy.

photo
Pintu Gerbang Masjid Wapauwe

Karya Nur Cahya lain yang terdapat di masjid tersebut adalah kitab Barzanzi, yaitu syair pujian kepada Rasulullah SAW; sekumpulan naskah khutbah, seperti naskah khutbah Jumat pertama Ramadhan 1661; kalender Islam 1407 M; dan manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.

Semua peninggalan sejarah tadi menjadi pusaka marga Hatuwe yang tersimpan di rumah pusaka Hatuwe, yang berjarak 50 m dari Masjid Wapauwe. Rumah pusaka ini dijaga oleh keturunan ke-12 Imam Muhammad Arikulapessy, Abdul Rachim Hatuwe.

Masjid Wapauwe berada di daerah yang memiliki banyak peninggalan sejarah. Sekitar 150 meter dari masjid terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda. Gereja yang terletak di sebelah utara masjid ini hancur akibat konflik agama di Ambon pada 1999 lalu.

Sementara itu, sebuah benteng tua New Amsterdam berdiri 50 meter dari gereja. Benteng peninggalan Belanda ini awalnya adalah loji Portugis yang menjadi saksi perlawanan pejuang Tanah Hitu dalam Perang Wawane (1634-1643) dan Perang Kapahaha (1643-1646).

Karena kedatangan Belanda ke tanah itu pada 1580, masjid Wapaue sempat mengalami perpindahan tempat. Sebelum pecahnya Perang Wawani, Belanda sudah mengganggu kenyamanan penduduk di lima kampung di kecamatan tersebut dalam beribadah. Karena fleksibilitasnya, masjid ini dipindahkan ke Kampung Tehala, yang terletak enam kilometer di timur Wawane pada 1614.

Ketika masjid tersebut dipindahkan ke Kampung Tehala, bangunan itu direkonstruksi di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan (mangga berabu), yang dalam bahasa Kaitetu disebut dengan wapa. Hal itulah yang menyebabkan masjid ini berganti nama menjadi Masjid Wapauwe, yang berarti masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.

Pada 1646, Belanda menguasai seluruh Tanah Hitu. Belanda kemudian melakukan penurunan penduduk dari daerah pegunungan, termasuk lima kampung di wilayah Wawane. Pada 1664 ditetapkanlah berdirinya negeri Kaitetu.

Masjid Wapauwe mengalami renovasi beberapa kali. Pertama kali masjid ini direnovasi oleh pendirinya, Jamilu, pada 1464, tanpa mengubah bentuk aslinya. Meskipun mengalami dua kali pemindahan, bangunan asli tetap dipertahankan. Renovasi kedua dilakukan pada abad ke-19 M, dengan penambahan serambi depan di bagian timur masjid.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, masjid ini mengalami perbaikan besar-besaran. Yang pertama terjadi pada Desember 1990 hingga Januari 1991, dengan mengganti 12 tiang kolom penunjang dan balok penopang atap.

Pada 1993 dilakukan renovasi dengan mengganti balok penadah kasau dan bumbungan, namun tidak mengganti empat tiang sebagai kolom utama. Pada 1995 juga sempat terjadi renovasi masjid, yaitu penggunaan semen PC pada atap masjid yang sebelumnya hanya menggunakan kerikil. Pada 1997, masjid yang tadinya beratapkan seng diganti menjadi atap nipah. Atap ini diganti setiap lima tahun sekali.

Meskipun telah mengalami beberapa kali pemindahan dan perbaikan, arsitektur inti Masjid Wapauwe tetap dipertahankan sehingga masjid ini menjadi situs sejarah paling penting di Maluku. Masjid yang sampai hari ini masih digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.

Perjalanan Islam di Maluku

Islam datang ke Kepulauan Maluku sekitar abad ke-14 M. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam di wilayah itu. Ada empat kerajaan Islam besar yang berpengaruh di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di Maluku Selatan juga terdapat kerajaan yang cukup berpengaruh, yaitu Kerajaan Hitu.

Seperti kedatangan Islam ke Indonesia secara umum, Islam dibawa ke Maluku melalui perdagangan. Maluku terkenal dengan sumber daya alamnya, yaitu cengkih dan pala, sehingga para pedagang dari Arab, Cina, dan dari Sumatra pun singgah di kepulauan bagian timur Indonesia ini.

Ketika Islam masuk ke Indonesia, jalur perdagangan rempah-rempah belum dikuasai oleh Eropa. Pedagang-pedagang dari Cina, India, dan Arab merajai perdagangan di Indonesia. Melalui merekalah Islam masuk ke Indonesia dan Maluku secara khusus. Ketegangan di kerajaan lokal di Maluku, seperti Ternate, merupakan bagian dari sejarah ketika Islam masuk masyarakat di sana.

Islamisasi yang terjadi di sana berlangsung dengan wajar karena kekuatan perdagangan. Politik damai ini menimbulkan rasa simpati dari masyarakat lokal yang semula memeluk agama asli. Mereka kemudian memeluk agama yang dibawa oleh para pedagang tersebut.

Islam Maluku merupakan hasil adaptasi kebudayaan yang sangat penting. Bahasa setempat digunakan untuk menyebarkan ajaran agama. Hal tersebut membuat corak kultur di dalam Islam begitu kuat dan dapat diterima oleh masyarakat setempat. Islam tidak memaksakan bahasa Arab pada masyarakat dalam melakukan komunikasi. Hal ini tidak lagi ditemui pada negeri-negeri Kristen, kecuali di Maluku Tenggara.

Islam Maluku dipahami sebagai bentuk kebudayaan yang pernah dihasilkan dalam sejarah agama di Maluku. Dalam sisi tertentu, Islam Maluku memperlihatkan perlunya usaha translasi ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat Maluku.

Terdapat banyak bukti peninggalan budaya Islam di Maluku. Salah satunya Islam dijadikan agama resmi di beberapa kerajaan. Empat kerajaan di Maluku Utara tersebut, terutama Kerajaan Ternate dan Tidore, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam karena di daerah inilah Islam pertama kali berkembang di Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore saling bersaing melebarkan wilayah kekuasaan sekaligus menyebarkan agama Islam ke wilayah jauh dari pusat pemerintahan mereka.

Seperti yang ditulis Balai Arkeologi Maluku, banyak bukti fisik pengaruh budaya Islam di daerah-daerah sisa dua kerajaan besar tersebut. Wilayah Maluku Utara meninggalkan arkeologi monumental, seperti istana, masjid kuno, Alquran kuno, dan berbagai naskah kuno lainnya. Masjid Wapauwe termasuk situs tertua di Maluku sekaligus menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement