Senin 03 Sep 2018 11:43 WIB

Waketum MUI: Perang Tagar Banyak Mudharatnya

Hendaknya semua pihak khususnya elit politik dapat menahan diri.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Andi Nur Aminah
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan keprihatinannya mencermati kondisi kebangsaan akhir-akhir ini. Dia menilai kondisi saat ini menampilkan gejala perpecahan bangsa dengan menguatnya kotak-kotak kepentingan politik yang bernuansa ideologis.

Kondisi seperti ini dinilainya tidak sehat dan dapat mengancam keutuhan bangsa. "Kami menilai bahwa perang tagar antara 2019 Ganti Presiden dengan Jokowi 2 Periode yang dilakukan oleh sejumlah orang memang tidak melanggar aturan dalam pemilu," kata Zainut kepada Republika.co.id, Senin (3/9). 

Menurutnya, perang tagar tersebut tidak perlu dilakukan karena belum memasuki masa kampanye. Perang tagar dinilai tidak elok dan tidak produktif di tengah suasana suhu politik yang semakin memanas dan dapat berpotensi menimbulkan konflik.

Dia menilai, perang tagar tersebut lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu, Zainut mengimbau kepada semua pihak agar dalam menyampaikan ekspresi dan menyatakan pendapatnya harus tetap mengindahkan nilai-nilai kesantunan, kepatutan, akhlakul karimah dan rambu-rambu undang-undang. Serta tidak mengumbar rasa kebencian yang berpotensi merusak kerukunan bangsa.

"Hendaknya semua pihak khususnya elit politik dapat menahan diri, mengedepankan etika politik yang berkeadaban dengan tidak menampilkan rasa kebencian dan permusuhan yang dapat memecah belah Bangsa Indonesia," ujarnya.

Zainut mengatakan, meskipun kegiatan kampanye Pilpres belum dimulai namun perang opini, gagasan dan pernyataan sudah mulai ramai di media sosial dalam bentuk aksi pengerahan massa. Semuanya itu atas nama kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat.

Ia menerangkan, sebagai negara demokrasi, setiap warga negara diberi jaminan kebebasan oleh konstitusi untuk menyampaikan pikiran dan pendapat. Sepanjang hal itu sesuai dengan norma-norma kepatutan, etika dan peraturan perundang-undangan. Tapi yang perlu dipahami adalah hak asasi manusia (HAM) itu bukanlah kebebasan yang mutlak tanpa batas melainkan ada pembatasannya yaitu undang-undang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement