Rabu 08 Aug 2018 15:01 WIB

Berbakti untuk Ibu

Sahabat memberikan contoh terbaik bagaimana berbakti kepada ibu.

Ibu dan anak
Foto: Republika/Prayogi
Ibu dan anak

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ada berjuta kisah khidmat yang agung para salafus shalih terhadap sosok ibu. Gemintang terbaik generasi Islam memberikan sebuah contoh terbaik bagaimana cara berbakti kepada ibu.

Muhammad bin Sirin pernah berkisah. Pada pemerintahan Utsman bin Affan, harga pokok kurma mencapai harga yang amat tinggi. Saat itu harganya sebanding dengan seribu dirham. Maka Usamah bin Zaid, panglima perang yang baru berumur 17 tahun, bergegas menebang sebatang pohon kurma. Ia kemudian mencabut bagian pangkal kurma yang berwarna putih, berlemak dan biasa dimakan dengan madu.

Lalu ia memberikan bagian tersebut kepada ibunya. Orang-orang lantas bertanya keheranan. "Usamah apa yang engkau lakukan? padahal engkau tahu pokok kurma kini harganya menjadi seribu dirham." Usamah dengan amat ringan menjawab, "Ibuku menghendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya."

Ibu Usamah adalah Ummu Aiman. Seorang yang merawat Rasulullah SAW saat kecilnya. Sementara ayahnya adalah Zaid bin Haritsah, seseorang yang setia membantu Nabi SAW. Usamah adalah sahabat yang tumbuh dan besar dalam didikan orang terbaik, berada di lingkungan terbaik dan bertemu dengan orang paling baik.

Meski harga pokok kurma amat mahal, ia enteng saja menebangnya. Jelas keinginan ibunya jauh melebihi angka seribu dirham. Jauh lebih mahal. Kita patut bercermin dari bakti Usamah. Tentu saja secara naluri kita mencintai ibu kita melebihi diri kita sendiri mungkin. Ibu menjadi magnet yang amat dahsyat untuk membuat seorang anak merenung. Bahkan tergugu.

Berapa seminar yang kita ikuti, lalu sampai pada sesi muhasabah dan ibu menjadi bagian dari perenungan sesaat tersebut? Kita paham apa reaksi diri saat ibu kita disebut-sebut. Hari kita bergetar. Bergetar amat hebat hingga menumpahkan air mata.

Jika kita jujur, kecintaan nurani kita terhadap ibu amatlah besar. Tapi patut kita catat, apakah kecintaan tersebut sudah tercermin dalam amal-amal nyata? Jangan-jangan ibu hanya begitu berharga dalam tangis-tangis seminar. Sementara tak pernah kita tanyakan apa kebutuhan beliau? Jika kita merantau, pernahkah kita menyapanya dalam sambungan telepon hanya sekadar menyapa? Atau kita terlalu sibuk dalam urusan-urusan dunia hingga hanya menyisakan waktu saat Idul Fitri untuk menengoknya?

Kita semua sendiri yang bisa menjawabnya. Ibu adalah alasan kita bisa berdiri di bumi ini. Semua kebaikan yang lahir dari seluruh indra kita, ada andil ibu di dalamnya.  Seorang anak akan selalu menjadi anak ibunya. Entah bagaimana keadaannya saat itu. Ibu juga menjadi alasan seseorang untuk memprioritaskan amal.

Adalah Muhammad bin Munkadir mengomentari kegemaran Umar, saudara kandungnya yang gemar shalat malam. Muhammad mengisahkan jika Umar asyik dengan shalat malamnya yang khusyuk, ia lebih memilih bersama ibunya. Di saat saudaranya larut dalam shalat, Muhammad juga larut dalam memijit-mijit kaki ibunya. "Dan aku tidak ingin kugunakan malamku seperti malamnya," kata Muhammad mengomentari ibadah saudaranya.

Tentu tak ada yang salah dalam kisah ini. Shalat malam adalah ibadah yang amat utama. Tak semua mata bisa bangkit dari tidur di malam nan sepi untuk bermunajat. Shalat tahajud adalah shalat sunah yang utama. Namun di saat yang bersamaan, Muhammad lebih memilih berbakti kepada ibunya. Ada prioritas. Sebab ada ibu disana.

Jika amal akhirat bagi salafus shalih prioritas amalnya setelah berbakti kepada ibu, lalu bagaimana dengan amal dan kerja-kerja dunia? Apakah kejujuran nurani masih tak cukup menggerakkan gerak nyata untuk memuliakan wanita terhormat itu?

Baik, mari kita simak apa perintah Allah SWT, tuhan yang menciptakan diri ini dan ibu kita. Allah SWT berfirman, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (QS al Isra' [17]: 23)

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak." (QS an-Nisa [4]: 36). Pada surah al-An'am ayat 151, Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa'."

Mari lihat rangkaiannya. Allah SWT menegaskan amal berbakti kita kepada ibu dan bapak kita selaras dengan perintah yang paling inti dalam agama ini, tauhid. Betapa agung kedudukan berbakti kepada ibu bapak. Berbakti adalah sebuah pekerjaan. Ia adalah tindakan nyata. Tak cukup menggumam membenarkan saja. Harus ada aksi, meski nampak sepele seperti menyapanya lewat sambungan telepon.

Berbakti kepada ibu adalah kerja-kerja langit. Hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar ingin bertemu penguasa langit dengan keadaan yang paling baik. Jadi mari bersama menyongsong langit, dengan menuntaskan darma kita kepada ibu. Tiket utama kita kembali kepada-Nya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement