Jumat 20 Jul 2018 17:30 WIB

Seperti Apakah Akhlak Ulama?

Hendaknya para ulama mawas diri dan waspada.

Ulama sangat berperan dalam pembinaan umatnya (Ilustrasi)
Foto: Republika
Ulama sangat berperan dalam pembinaan umatnya (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Islam memberikan penghormatan terhadap ilmu dan ulama. Penghormatan yang nyaris tidak ditemukan sepanjang sejarah manusia. Tak lain, karena posisi strategis ulama dalam Islam. Islam menempatkan mereka sebagai pewaris para nabi.

Sehingga, pendapat yang keluar dari pemikiran ulama merupakan referensi hukum yang patut dijalankan. Bahkan, sebuah pendapat mengatakan bahwa para ulama wajib ditaati sepeninggal Rasullah. Pendapat ini sebagaimana dikemukakan Mujahid.

Menurut Mujahid, pendapat tersebut mengacu pada ayat, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS an-Nisaa [4] : 59). Bagi Mujahid, arti kalimat ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah para ulama dan ahli fikih.

Namun, menurut Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Husain bin Abdullah Al Ajurri dalam kitabnya yang berjudul Akhlaq al-Ulama',  tidak semua ulama masuk kategori tersebut. Sebagai manusia biasa, para ulama tak luput dari kekhilafan selama hidup mereka.

Padahal, ungkap sosok yang hidup dan wafat pada 360 H itu, sisi terpenting yang lazim dimiliki ulama, yaitu aspek moralitas. Dengan aspek inilah terlihat jelas perbedaan antara alim dengan orang awam.

photo
Infografis Masa Keemasan Islam

Dalam pandangan Al Ajurri, ulama bukan sekadar mereka yang mampu menguasai ilmu syariat dengan berbagai variannya. Tetapi, lebih dari itu kriteria ulama adalah figur yang bisa menjadi rujukan bagi pelbagai soalan umat.

Beragam persoalan yang harus dijawab ulama tidak terbatas pada problematika hukum agama, tetapi tak kalah penting menyangkut pada etika yang penting ditauladankan ulama. Sisi moralitas inilah yang bisa menempatkan ulama sebagai panutan yang layak diteladani.

Tanpa itu, ulama tak ubahnya manusia biasa lainnya. Sedangkan, inti dari moralitas seorang ulama adalah frekuensi dan tingkat ketakwaannya terhadap Allah. Konsistensi dan komitmennya melaksanakan tiap perintah dan menjauhi larangan diletakkan sebagai barometer derajat yang dimiliki.

Ulama tak akan tergiur dengan nafsu duniawi. Fokus yang ada dihadapannya tak lain ialah rasa takut yang mendalam kepada Allah. “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Faathir [35] : 27).

Pasalnya, sebagai pemegang estafet risalah, atas dasar perkataan ulama harusnya umat bertindak. ”Ulama adalah lentera umat, mercusuar negara, dan sumber hikmah,” tulis Al Ajurri dalam mukadimahnya.

Menurut Al Ajurri, selama aspek etika dan moralitas bisa dipenuhi oleh ulama, dari sisi inilah Allah mengangkat derajat meraka. Allah menganugerahkan penghormatan kepada ulama yang berhasil memadukan kedua aspek, sekaligus integritas ilmu dan moral.

Apresiasi yang diberikan tersebut secara tegas disampaikan Allah dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah [58] : 11)      

Al Ajurri mengingatkan agar para ulama terhindar dari fitnah yang menimpa seorang alim. Beberapa hadis yang menyinggung hal tersebut pun dinukil dalam kitabnya itu.

Riwayat pertama yang disebutkan adalah riwayat Abdullah bin Umar. Disebutkan  bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu bukan karena Allah atau menginginkan tujuan selain (ridha) Allah, hendaknya dia mencari tempat duduknya di neraka.”

Fenomena fitnah yang menimpa ulama, telah diberitakan secara jelas oleh Rasulullah. Integritas moral yang mestinya dipertahankan oleh ulama berangsur hilang. Bahkan, ulama kerap terlibat dengan masalah-masalah yang menggerus moralitas dan akhlak mereka.

Dalam sebuah riwayat Anas bin Malik, diberitakan bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Akan muncul di akhir zaman nanti para ahli ibadah yang bodoh dan ulama yang fasik.”

Sebab itulah, hadis tersebut tampaknya disikapi serius oleh kalangan salaf. Dalam sebuah pesannya, Sufyan Ats-Tsauri pernah mengingatkan akan kemunculan fenomena itu. Kewaspadaan dan antisipasi penting dilakukan. Mengapa?

Tak lain, karena dampak fitnah yang menimpa ulama akan berimbas pada umat secara kesuluruhan. “Maka dari itu, berlindunglah kalian dari fitnah ahli ibadah yang bodoh dan ulama yang fasik karena fitnah keduanya berimbas kepada semua lapisan,” titah dia.

Rendah hati

Imam al-Ajurri juga menyebutkan, salah satu bentuk moralitas ulama tersebut ialah sikap rendah hati. Sportif dan mengatakan “tidak tahu” tatkala menemukan persoalan yang ia belum ketahui jawabannya. Karena, yang demikian adalah akhlak Rasulullah SAW, para sahabat, dan para imam.

Rasulullah SAW tidak akan pernah berani menjawab soalan dari para sahabat sebelum ada keterangan dari wahyu. Kalaupun mengetahui jawabannya, tak lupa mengatakan bahwa segala kebenaran itu datang dari Allah SWT. Dan, hanya Dia-lah yang mengetahuinya.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement