Kamis 19 Jul 2018 22:29 WIB

Bangga Menjadi Muslim

Umar bin Khattab: Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam.

Umat Islam saat beribadah di Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Umat Islam saat beribadah di Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa bahagianya hati seorang laki-laki dari Kabilah Ghifar, Abu Dzar al-Ghifari, ketika baru memeluk Islam. Sahabat yang menjadi orang keenam masuk Islam itu ternyata lebih ekstrem dibanding saudara-saudara se-Islamnya yang lain.

Mereka yang memeluk Islam akan ditindas dan disiksa. Untuk itulah, Rasulullah meminta para sahabat ketika itu untuk menyembunyikan keislamannya. Termasuk, juga kepada Abu Dzar. “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti,” pinta Rasulullah kepada pria bernama asli Jundub bin Junadah itu.

Namun, gelora hidayah Islam di dadanya membuat semangatnya meluap-luap. Kebahagiaannya telah memeluk Islam seakan ingin ia beritahukan kepada seisi bumi. Ia ingin dikenal sebagai seorang Muslim. “Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, aku takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka’bah,” pintanya kepada Rasulullah.

Ia pun menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Spontan saja, masyarakat jahiliyah Makkah ketika itu langsung mengerubungi “si pencari gara-gara” tersebut. Hal terburuk sudah bisa ditebak. Ia babak belur dihajar massa dan nyaris tewas.

 

Begitulah kebanggaan seorang Abu Dzar dengan Islamnya. Jangankan cemoohan atau hinaan, kemungkinan terburuk yang akan merenggut nyawanya tak ia perhitungkan lagi. Baginya, menjadi seorang Muslim merupakan suatu kebanggaan.

Hal berbeda terlihat jelas antara Abu Dzar dan pemuda sekarang. Sungguh susah menemukan para pemuda yang bangga menyandang predikat sebagai seorang Muslim. Mereka malu mengenakan aksesori Islam. Katakanlah hanya sekadar mengenakan pakaian Muslim, berbaju koko, memakai peci atau kopiah, atau sekadar mengucapkan salam. Hal tersebut mereka nilai kampungan dan tabu. Terlebih lagi, jika mereka melakukan semua itu, mereka benci bila disebut orang alim.

Demikian juga dengan para Muslimah. Mereka malu memakai jilbab lantaran takut mendapat cemoohan orang. Takut tidak terlihat cantik, takut tidak dilirik lawan jenis, atau takut tidak mendapatkan teman. Sebenarnya, mereka malu membawa Islam dalam kesehariannya.

Para orang tua lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah elite bertaraf internasional ketimbang pondok pesantren. Mereka lebih suka anak-anaknya jago fisika dan kimia ketimbang hafiz Alquran. Hanya memberi prioritas pada dunia tanpa memberi porsi yang seimbang pada pengetahuan Islam. Sekolah agama dinilai tak berarti apa-apa untuk bekal anaknya kelak.

Ketika umat Islam sudah malu mengusung Islam dalam kehidupannya, justru ketika itulah Allah SWT menghinakan mereka. Niat hati ingin terlihat elite karena mengikuti gaya hidup Barat yang katanya modern, tapi secara tidak sadar ia sudah menghinakan diri sendiri.

Bukankah Umar bin Khattab RA pernah berpesan, “Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan selain daripada Islam maka kita akan dihina oleh Allah.”

Rasulullah SAW sudah meramalkan umatnya suatu saat nanti akan dihinakan kaum kafir. Rasulullah mengibaratkan umatnya pada akhir zaman seperti makanan lezat yang diperebutkan orang kafir. “Apakah umat Islam waktu itu sedikit, wahai Rasulullah?” tanya salah seorang sahabat.

“Bahkan, jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi, keadaan kalian seperti buih di lautan,” jawab Rasulullah. (HR Abu Daud).

Penyebabnya, umat Islam mengalami krisis kebanggaan terhadap agama mereka. Mereka mengejar dunia dan melupakan akhirat. Penyakit seperti ini dinamakan Rasulullah SAW dengan sebutan wahn. "”(Wahn itu) cinta kepada dunia dan takut mati,” sabda Rasulullah (HR Abu Daud).

Lihatlah bagaimana jayanya Islam dahulunya. Pada abad pertengahan, seluruh aspek kehidupan dikuasai umat Islam saat itu. Para ilmuwan dan cendekiawan semuanya berasal dari umat Islam. Lihatlah betapa agungnya arsitektur peninggalan zaman keemasan Islam, mulai dari Cordoba (Spanyol), Persia, sampai peninggalan Wali Songo di Indonesia. Semuanya menjadi bukti keagungan Islam. Rahasianya, karena kebanggaan mereka mengusung Islam sebagai sumber gaya hidup, hukum, dan seluruh aspek kehidupan mereka.

Umat Nabi Muhammad SAW adalah umat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Seperti firman Allah SWT, “Kalian (umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi umat manusia (karena) kamu menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Untuk itulah, tak perlu merasa malu maupun rendah diri ketika mengusung Islam. Bawalah Islam dalam setiap aspek kehidupan kita. Praktikkanlah seluruh nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah, dengan itulah Allah memuliakan kita.

Sebagaimana firman Allah, “Janganlah kamu merasa hina dan jangan pula kamu bersedih hati. Kamulah yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman (QS Ali Imran [3]: 139).

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement