Rabu 18 Jul 2018 23:03 WIB

Setia kepada Kebenaran

Orang yang setia kepada kebenaran adalah gambaran lelaki ideal hari ini.

Keimanan/Ilustrasi
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Keimanan/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namanya Abdullah. Lengkapnya, Abdullah bin 'Utsman bin 'Amir bin 'Amr bin Ka'ab. Kita mengenalnya dengan nama kuniyah berikut gelarnya, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Lelaki ini terus hidup dengan gelar yang amat agung. Abu Bakar adalah seseorang yang dekat dengan kebenaran, membenarkan yang benar, dan senantiasa membicarakan hal-hal yang benar.

Ia dekat dengan kebenaran karena ia karib sang Nabi. Ia selalu mendapati hal-hal yang benar karena terus mendampingi manusia mulia tersebut. Abu Bakar pula yang menemani Rasulullah dalam hijrah yang berat.

Menapak bumi berdua, bersembunyi, berjalan memutar menuju Madinah. Ia tak hanya kawan perjalanan, tapi sekaligus menjaga sang Nabi SAW lewat ikhtiarnya, meski ia tahu Allah SWT lebih kuat penjagaannya.

Ia membenarkan yang benar. Ia berdiri di barisan orang-orang beriman yang masih sedikit saat kaumnya mendustakannya. Ia membenarkan sahabat terdekatnya meski lebih banyak orang lain saat itu yang mengingkarinya.

Termasuk, saat orang-orang kafir Quraisy menertawakan Isra dan Mi'rajnya Nabi SAW. Mereka tentu amat tak percaya ada seorang manusia pada zaman itu yang sanggup menempuh perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis dalam semalam.

"Teman kamu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam," olok-olok para penduduk Makkah. "Jika ia (Muhammad) berkata demikian," jawab Abu Bakar, "maka ia benar."

Keimanan memang jauh melebihi akal dan logika yang bisa dijangkau manusia. Orang-orang di masa itu menyangkal berita Isranya Nabi Muhammad SAW, tak masuk akal. Namun, lelaki yang selalu setia di sisi Nabi SAW ini lebih paham sejawatnya dibanding siapa pun. Ia memilih memakai logika iman. Sebab, di dadanya sudah bergemuruh keyakinan kuat tentang keimanan.  Maka, ia membenarkan hal-hal yang tak masuk logika kaumnya. Sebab itu, ia digelari ash-Shiddiq.

Allah SWT pun menyebut lelaki yang bijaksana itu dengan sebutan ash-Shiddiq. "Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS az-Zumar [39]: 33).

Para ulama mufassirin menjelaskan, orang yang dimaksud datang membawa kebenaran itu adalah Nabi Muhammad SAW. Sementara, orang yang membenarkannya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq RA.

Orang yang setia kepada kebenaran adalah gambaran lelaki ideal hari ini. Zaman di mana kebenaran amat bergantung kepada siapa yang berbicara dan berapa yang diberikan. Hakim memutus apa yang ia sebut kebenaran berdasarkan lobi-lobi dan sekarung mata uang dolar. Jaksa mengajukan tuntutan yang ia sebut kebenaran berdasar bisik-bisik dan transferan rupiah yang nilainya miliaran.

Lelaki yang selalu membenarkan yang benar seperti Abu Bakar adalah seperti menara gading yang tak terjangkau. Sebab, standar kebenaran hari ini sudah amat bias. Masing-masing bisa mengaku benar dalam perkara yang sama. Patokannya entah, mungkin hawa nafsu, mungkin kepentingan abadi.

Padahal, lelaki seperti Abu Bakar ash-Shiddiq adalah lelaki biasa sebenarnya. Ia seperti manusia lain, tak maksum. Ia justru mulia karena sifat kemanusiaannya. Suatu kali bahkan ia merasa telah menjadi munafik. Ia merasa saat dekat dengan Nabi SAW imannya membuncah, tapi saat berkumpul dengan keluarga, ia merasa lupa akhirat.

Radar iman Abu Bakar amat sensitif. Hal yang lumrah, berkumpul dengan keluarga, ia anggap godaan iman. Ia gundah, lalu menemui Rasulullah mengadukan kegelisahannya. Rasa kegelisahan itu yang mungkin jua hilang hari ini.

Kita, manusia abad 21 ini tak lagi gelisah jika berbuat maksiat. Kita tak merasa munafik meski gemar memakai beragam topeng saat berhadapan dengan manusia. Radar iman kita seolah mati. Sensitivitasnya berkurang drastis seiring perbuatan maksiat yang seakan menjadi hobi.

Kita mungkin tertatih mengejar jalan hidup ash-Shiddiq. Tapi, bukan berarti kita tak bisa meneladaninya. Kita bahkan harus menjadikan Abu Bakar sebagai sosok yang bisa menjadi cambuk perbaikan dalam kehidupan kita.

Ia setia pada nilai kebenaran hingga akhir hayatnya. Meskipun, ia sudah diberikan kabar gembira berupa surga.Tak berkurang sedikit pun amal yang terus ditunaikan. Di saat orang-orang baru bangun, ia sudah memberi makan kaum papa.

Saat orang sibuk menuju masjid saat Subuh, ia menyempatkan menjenguk orang sakit dalam perjalanan ke masjid. Saat orang merasa menyedekahkan separuh hartanya adalah amal hebat, ia tanpa pikir panjang menyedekahkan seluruh hartanya. Karena, Abu Bakar paham, apa yang ia lakukan adalah hal-hal yang benar demi tegaknya kebenaran.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement