Senin 25 Jun 2018 18:00 WIB

Pentingnya Menjaga Lisan

Menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Penulisan hadis (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com/a
Penulisan hadis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Di tengah kondisi sosial masyarakat yang terpuruk, keberadaan ulama bak pelita yang memendarkan cahaya. Mereka hadir menawarkan solusi dan obat bagi ‘penyakit’ yang mengendap. Hal ini pula yang dilakukan oleh para salaf, salah sa tunya Ibnu Abi Ad Dunya.

Tokoh bernama lengkap Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid Ibnu Abi Ad Dunya ini dikenal sebagai guru sekaligus pendidik yang mempertahankan etika-etika mulia. Sosok kelahiran Baghdad pada 210 H itu hidup pada masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang cukup heterogen, utamanya dalam hal ideologi pemikiran.

Kala itu, sekte-sekte keagamaan muncul dan berkembang dengan subur. Dinamika pemikiran berkembang pesat. Bahkan, nyaris kebablasan. Ada sekte Muktazilah, Qaramithah, Ismai’iliyyah, dan alir an-aliran keagamaan lainnya. Dimensi ketuhanan yang kerap disentuh, antara lain, soal eksistensi agama, tuhan, dan konsep kenabian.

Pro dan kontra antarkelompok pun bermunculan. Di titik tertentu bahkan sampai pada kesimpulan saling mengafirkan. Kondisi ini, dinilai Ibnu Abi Ad Dunya, sangat memprihatinkan. Menurut penulis karya monumental berjudul Maka rim al-Akhlak ini diperlukan solusi agar komunitas awam tak terjebak dalam diskursus dan polemik tersebut. Maka, sosok yang dikenal produktif menulis ini mengarang sebuah kitab berisikan etika-etika Islami.

Ia berharap, melalui karyanya itu tercipta kondisi dan tabiat umat yang saleh serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip keislaman yang lurus. Dengan demikian, mereka tidak mudah terjebak dengan perselisihan pendapat yang tak berujung. Kitab yang terdiri atas 25 bab itu ia beri judul as-Shumtu wa Adab al-Lisan. Referensinya merujuk pada Alquran dan hadis serta kisah-kisah yang dinukil dari para sahabat.

Ringkasan

Nah, kitab yang dibahas kali ini, yaitu Hasan as-Samat fi as-Shomat adalah ringkasan dari as-Shumtu wa Adab al-Lisan (selanjutnya disebut kitab asli). Kitab Hasan as-Samat fi as-Shomat ditulis oleh Imam as- Suyuthi, seorang ulama terkemuka yang hidup pada abad kedelapan Hijriah. Meski meringkas satu bab saja dari kitab aslinya, Suyuthi yang bernama lengkap Abdur Rahman bin al-Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Ad Din al- Khudhari as-Suyuthi memilih satu bab yang tepat dan merupakan inti bahasan kitab asli, yaitu pentingnya menjaga lisan.

Ringkasan itu ditempuh dengan membuang sanad yang ditulis lengkap di kitab aslinya. Suyuthi cukup menyebutkan perawi hadis teratas dan imam hadisnya. Total teksnya berjumlah 114 buah. Jumlah tersebut lebih ramping ketimbang total teks aslinya, yaitu 759 buah. Dari jumlah teks yang ia nukil itu, ¾ berasal dari kitab asli sedangkan sisanya merupakan tambahan yang diinisiasi oleh tokoh kelahiran Kairo, 1 Rajab 849 H, tersebut.

Keutamaan diam yang pertama kali disebutkan dalam ringkasan Suyuthi adalah diam merupakan kunci keselamatan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Baihaqi, dan Darimi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memilih (diam) akan selamat.”

Hadis ini dikuatkan dengan riwayat lain dari Anas bin Malik. Rasulullah menegaskan, barang siapa yang ingin selamat dunia akhirat maka hendaknya ia tidak mengumbar kata-kata dari lisannya. Menjaga lisan dengan tidak banyak bicara adalah aktivitas yang paling ringan. Tetapi, memiliki perhitungan yang cukup besar di sisi-Nya.

Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar. Dalam wasiat itu, Rasulullah menegaskan, “Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Kedua nya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilai pahalanya akan memberatkan timbangan perbuatan kelak di akhirat.”

Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat di hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang. Sebuah riwayat dari Abu Abdullah bin Muhriz bin Zahir al-Aslami menegaskan, diam adalah perhiasan bagi mereka yang berilmu dan kamuflase bagi orang yang bodoh. Karena itulah, diam adalah pamung kas akhlak, demikian ditegaskan Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.

Diam, seperti yang dikemukan di berbagai riwayat di atas, meru pa- kan etika yang sangat dianjurkan. Lantas, apakah ini berarti seseorang dilarang ber bicara? Tentu saja tidak. Berbi caralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan, berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topiktopik yang tak patut dibicarakan.

Suatu saat, seperti diriwayat kan Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bepergian bersama Mu’adz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum itu bertanya kepada Rasulullah, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawabnya dengan memberikan isyarat menujuk ke bibirnya, “Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.”

Lalu, apakah hikmah di balik tuntunan yang diserukan Rasulullah untuk berdiam kecuali dalam hal kebaikan? Riwayat lain yang dinukil dari sahabat Abu Dzar mengungkapkan maksud dan man faat yang bisa diambil dari etika ini. Sikap diam dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa membantu seseorang menghindari godaan setan dan membantu menjaga agamanya.

Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan. Karena itu, Rasulullah menyebutkan di hadis riwayat Abu Hurairah bahwa kebijaksanaan itu terdiri atas 10 ba gian. “(Sebanyak) sembilan darinya berasal dari mengasingkan diri ( ‘uzlah). Sedangkan, satu lagi terdapat di sikap diam.” Merasa penasaran, seorang salaf yang ber n ama Wahib bin al-Ward pernah mempraktikkannya. Ia sudah mencoba diam dan tidak banyak berbicara, tapi masih saja gagal. Ternyata, diam saja tak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan beruzlah. Akhirnya, usahanya pun berhasil.

Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan inipun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan bicara. Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Sa’id al- Khudri. Permintaan itu pun akhir nya dikabulkan. Said al-Khudri berkata, “Berdiamlah kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu maka engkau akan mengalahkan setan.”

Tetapi, sayang, keutamaan diam ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal, di balik sikap diam yang proporsional— berbicara ketika dibutuhkan soal kebaikan—terdapat segudang hik mah. “Hanya sedikit pelakunya,” demikian sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Anas bin Malik yang dinukil oleh Ibn ‘Addi, Baihaqi, dan Qudha’i.

Inilah salah satu alasan me ngapa Rasulullah SAW meng anjur kan agar diam dan menjaga lisan yang proporsional disosialisasikan dan ditradisikan di tengah masyara kat. Seseorang—dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud—mendatangi Ra sulullah dan mengata kan, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka?” Rasulullah menjawab, “Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement