Ahad 24 Jun 2018 18:37 WIB

Pemerintah Bisa Biayai Sertifikat Halal dari Pajak Konsumen

produk yang akan disertifikasi halal adalah produk yang memang berbahan baku

Halal
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal 4 UU No.33 Tahun 2014 menyebutkan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kewajiban sertifikasi halal Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) tersebut akan mulai berlaku pada 17 Oktober 2019 nanti.

Dengan adanya UU tersebut, sanksi tegas akan diterapkan atas kelalaian menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga pemeriksa halal yang berwenang selama ini.

Wakil Ketua LPPOM MUI, Osmena Gunawan, mengatakan menyediakan produk halal bagi masyarakat menjadi kewajiban bagi pemerintah. Hal itu karena produk halal adalah kebutuhan hidup hajat manusia.

Makanan halal, menurutnya, wajib tidak hanya bagi Muslim, melainkan juga seluruh manusia tanpa memandang agama apapun. Karena itulah, pemerintah menurutnya harus bertanggung jawab untuk ikut turun tangan dalam sertifikasi halal ini.

Osmena pun memberikan usulan terkait sumber dana yang bisa digunakan pemerintah untuk membiayai pembuatan sertifikat halal bagi para pelaku usaha bisnis mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

"Sebenarnya mudah. Pemerintah bisa menggunakan pajak konsumen yang diperoleh dari berbagai usaha seperti hotel dan restoran untuk membiayai pembuatan sertifikat halal. Konsumen kan membayar pajak untuk makanan seperti di restoran dan hotel," kata Osmena, saat dihubungi Republika.co.id.

photo
Infografis Wisata Halal Dunia

Dalam hal ini, Osmena menegaskan bahwa produk yang akan disertifikasi halal adalah produk yang memang berbahan baku atau dinyatakan halal. Karena itu, pelaku usaha yang menyatakan produknya halal wajib mengajukan atau membuat sertifikat halal. Sedangkan bagi produk yang tidak halal, pelaku usaha bersangkutan menurutnya wajib menyertakan informasi bahwa produknya tidak halal atau haram.

Sejauh ini, peraturan pelaksana UU JPH belum diterbitkan pemerintah. Meskipun, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah memiliki pimpinan sejak Agustus 2017 lalu.

Pada awal Agustus lalu, Sukoso dilantik sebagai kepala BPJPH berdasarkan Keputusan Presiden RI No.94/TPA Tahun 2017. Dengan demikian, BPJPH belum melaksanakan tugasnya terkait sertifikasi halal. Sampai hari ini, pengajuan sertifikat halal masih dilakukan melalui LPPOM MUI.

Sesuai UU No.33 Tahun 2014 tersebut, Osmena menuturkan bahwa produk yang akan disertifikasi harus diaudit oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Jika sudah memenuhi standar, MUI selanjutnya akan mengeluarkan fatwa terkait kehalalan produk yang bersangkutan. Selanjutnya, BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal bagi pelaku usaha bersangkutan.

Ia menambahkan, dalam undang-undnag tersebut dijelaskan bahwa LPH harus berisikan auditor yang sudah memperoleh sertifikat dari MUI. Di samping itu, LPH juga harus yang diakui oleh MUI dan fatwa terkait kehalalan produk harus dikeluarkan melalui MUI. Namun, ia mengatakan sejauh ini belum ada satu pun LPH yang mendaftar ke MUI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement