Selasa 22 May 2018 08:53 WIB

Mengapa Rilis 200 Penceramah Kemenag Picu Kegaduhan?

Kultur Muslim suni Indonesia tak bisa distrukturkan.

Rep: Febrian Fachri/Novita Intan/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddqie
Foto: RepublikaTV/Havid Al Vizki
Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Kementerian Agama (Kemenag) merilis daftar 200 penceramah menuai pro dan kontra. Tak sedikit yang menolak usulan tersebut karena dinilai hanya memicu kegaduhan dan kecurigaan.

Timbul kecurigaan karena ada yang bertanya-tanya mengapa dai A tak masuk, sedangkan dai B terdapat dalam daftar? Apakah mereka yang tak masuk karena dinilai tak mumpuni atau ajarannya terlalu keras? 

Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshidiqie menjelaskan,  kultur Islam suni di Indonesia tidak bisa distrukturkan, terutama dalam hal dakwah. Islam suni Indonesia, kata Jimly, tidak punya hierarki karena berasal dari umat, bukan dari negara atau pemerintah.

"Kultur masyarakat suni Indonesia itu tak bisa distrukturkan kehidupan organisasi dakwahnya. Struktur ulama itu tak ada hierarkinya. Masjid-masjid itu juga mengumat daripada menegara. Kalau di Malaysia itu masjidnya masjid negara. Kita enggak. Di mana umat Islam di situ ada masjid," kata Jimly di Jakarta, Senin (21/5) malam.

Itulah menurut Jimly yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra ketika Kementerian Agama mengeluarkan rekomendasi 200 mubaligh. Ada masyarakat yang tersinggung ketika ulama yang mereka sukai tidak masuk ke dalam nama-nama yang direkomendasikan.

Mantan ketua Mahkamah Kontitusi itu berpendapat, sebaiknya masalah rekomendasi 200 mubaligh ini disederhanakan saja, yakni hanya untuk kebutuhan pendataan.

Jimly menilai database untuk kepentingan administrasi sangat dibutuhkan. Negara, kata Jimly, harus bisa mengetahui berapa jumlah ulama, spesialisasi ulama, tingkat pendidikan ulama, dan lain-lain.

Namun, basis data yang dibuat ini menurut Jimly hanya untuk konsumsi lembaga Kemenag, bukan untuk dipublikasikan karena akan menimbulkan kegaduhan. Jimly juga menilai jangan sampai data ulama ini menjadi alat untuk kepentingan politik.

"Kalau untuk database itu penting supaya kita tahu kekuatan dan kondisi dakwah itu tercatat. Berapa jumlah ulama yang sudah lulus S-2, S-3, berapa usianya yang udah sekian, berapa ulama yang muda. Kemudian kekhususan ulama itu siapa yang ahli fikih, ahi teologi, ahli kalam, ahli kawin cerai, ekonomi syariah, yang seperti itu diperlukan. Tapi jangan sampai di-publish. itu kan blunder sedikit," ujar Jimly.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mempertanyakan transparansi pemilihan nama mubaligh. PP Muhammadiyah meminta Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan penjelasan secara detail kepada masyarakat terkait rekomendasi 200 nama mubaligh.

"Misalkan apakah Menteri Agama rekomendasi itu pro pemerintah saja, yang tidak masuk maka tidak pro pemerintah, merugikan keduanya," ujar Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas ketika dihubungi Republika.co.id, Jakarta, Selasa (22/5).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement