Selasa 22 May 2018 00:37 WIB

Ini Duduk Perkara Insiden Ahmadiyah di Lombok Timur

TGB meminta seluruh elemen menghentikan semua perbuatan permusuhan, apalagi kekerasan

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (tengah)
Foto:

Tiga poin kesepakatan Ahmadiyah pada mediasi pada 8 April 2017 sendiri berbunyi:

1. Untuk tidak akan menyebarluaskan paham ahmadiyah kepada masyarakat sebagaimana amanat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tengang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyag Indonesia dan warga masyarakat.

2. Untuk kembali kepada ajaran Islam dengan melaksanakan aktivitas ibadah bersama dengan menjaga kondusifitas daerah khususnya Desa Gereneng.

3 Untuk dikenai sanksi hukum atas pelanggaran pernyataan ini sesuai ketentuan perundang-undangan.

 

Namun, kata Ahsanul, perjanjian tersebut kembali patah karena adanya pelanggaran dari jemaat Ahmadiyah yang pada realitanya tetap melakukan aktivitas dan penyebaran terhadap ajaran-ajaran Ahmadiyah yang dilihat masyarakat setempat. Ahsanul juga menemukan kalender dengan tulisan dan foto terkait aktivitas Ahmadiyah. 

Indikasi penyebaran ajaran Ahmadiyah, kata Ahsanul, terlihat dari bertambahnya jumlah jemaat Ahmadiyah. Awalnya, hanya ada sekitar 4 jemaat Ahmadiyah yang kembali ke Lombok Timur dari Transito Mataram. Saat ini jumlah jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur bertambah menjadi 35 orang.

photo
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi menemui masyarakat Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB dan juga jemaat Ahmadiyah di Mapolres Lombok Timur pada Senin (21/5)

Mengenai kronologi awal kejadian pengrusakan, Ahsanul menjelaskan, kurang lebih sama dengan yang diungkapkan Kabid Humas Polda NTB AKBP Komang Suartana tentang anak-anak yang mengaji di rumah salah satu jemaat Ahmadiyah berinisial JS.

"Di situ anak-anak kelahi kemudian saat pulang ke rumah cerita, kata masyarakat //loh kok// kamu mengaji di (rumah) Ahmadiyah. Ketika terjadi itu saling keberatan-keberatan, masyarakat tiba tiba bergerak melakukan pengrusakan terhadap rumahnya JS tempat ngaji anak-anak itu," bebernya.

Serupa dengan penjelasan kepolisian, Ahsanul juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun jemaat Ahmadiyah yang dilukai oleh masyarakat. Ini penting disampaikan karena simpang siur juga di publik, ada yang mengatakan penyerangan terhadap Ahmadiyah, yang dirusak itu hanya rumahnya, sementara manusianya dibiarkan, diselamatkan oleh kepolisian dan pada saat itu membawa ke Aula Mapolres Lombok Timur.

Pemkab Lombok Timur memberi prioritas bagi keamanan para jemaat Ahmadiyah dengan berkoordinasi bersama Polres Lombok Timur. Bersama-sama aparat kepolisian dan TNI juga, Pemkab Lombok Timur melakukan giat bakti sosial membersihkan rumah jemaat Ahmadiyah yang rusak pada Ahad (20/5) sore di Kampung Gerepek, Dusun Lauq Eat, Dusun Gereneng. Sedikitnya lima rumah jemaat Ahmadiyah menjadi sasaran kerja bakti pada sore tersebut.

Ahsanul juga memohon kepada masyarakat mengakhiri pengrusakan karena informasi yang berkembang di pejabat pusat adalah sangat banyak rumah yang dirusak oleh massa. Ahsanul juga meluruskan sejumlah informasi yang tidak akurat, seperti dikatakan jemaat Ahmadiyah melarikan diri ke hutan, padahal di wilayah ini tidak ada hutan. Ahsanul bersama seluruh pihak berupaya semaksimal mungkin mencari solusi yang sebaik-baiknya untuk masyarakat.

Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) telah mengeluarkan pernyataan sikapnya melalui Sekretaris PB JAI Yendra Budiana dengan mengecam beserta kronologi kejadian yang tersebar di sejumlah grup layanan aplikasi pesan instan, WhatsApp.

Yendra menerangkan, peristiwa ini terjadi pada Sabtu (19/5) pukul 11.00 Wita terhadap 24 jemaat Ahmadiyah dari tujuh kepala keluarga di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng yang merusak enam rumah beserta peralatan rumah tangga dan elektronik lainnya serta empat unit sepeda motor. 

Yendra menilai, kelompok massa yang berasal dari daerah yang sama melakukan penyerangan dan pengrusakan karena sikap kebencian dan intoleransi pada paham keagamaan yang berbeda. Pengrusakan rumah kembali terjadi pada pukul 21.00 Wita di lokasi yang sama dan mengakibatkan satu rumah hancur. Keesokan hari, pada Ahad (20/5) pukul 06.30 Wita pengrusakan satu rumah kembali terjadi. 

Atas kejadian tersebut, jemaat PB JAI meminta jaminan keamanan dari pihak kepolisian di mana pun komunitas Ahmadiyah berada. Jaminan dari pemerintah pusat dan daerah untuk tinggal di rumah yang dimiliki secara sah, jaminan dari pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing, penegakan hukum yang adil atas para pelaku kriminal yang melakukan penyerangan, perusakan dan pengusiran, serta meminta solusi dari pemerintah atas hilang dan rusaknya rumah dan harta benda akibat pengrusakan tersebut.

"Kejadian di Lombok Timur ini juga merupakan kejadian puluhan kali yang terus berulang di NTB karena ketidaktegasan hukum dan lambatnya penanganan sehingga pengungsi komunitas Ahmadiyah yang sudah lebih dari 10 tahun pun belum ada jalan keluarnya," kata Yendra.

Namun, tak ada satu pun penjelasan dalam pernyataan tersebut yang memuat substansi masalah tentang adanya sebuah perjanjian yang dilanggar. Pelanggaran atas kesepakatan menjadi inti permasalahan yang dijabarkan Polda NTB, Polres Lombok Timur, maupun Pemkab Lombok Timur, disamping tindak kekerasan berupa pengrusakan yang tentu tidak bisa menjadi sebuah pembenaran.

Republika.co.id mencoba menggali informasi dengan menghubungi salah satu penasehat Ahmadiyah NTB Saleh Ahmadi pada Senin (21/5). Saleh mengaku, tidak mengetahui jelas terkait adanya perjanjian tersebut. Namun, ia memastikan tidak pernah ada perjanjian pada tahun ini. Memang benar demikian karena perjanjian dibuat pada April 2017.

Ketika disinggung perjanjian dilakukan setahun sebelumnya, Saleh akhirnya mengiyakan dengan catatan adanya tekanan dan pemaksaan. Tak lama berselang, Saleh mengungkapkan, bahwa orang-orang yang menandatangani perjanjian sudah tidak ada di NTB.

"Orang-orang yang di dalam perjanjian itu orangnya ternyata banyak yang tidak ada, ada yang meninggal dan di Malaysia," kata Saleh.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement