Kamis 22 Mar 2018 05:17 WIB

IAIN Bukittinggi: Kami tak Langgar Syariat Islam

Ribuan mahasiswa IAIN Bukittingi menolak adanya intervensi pihak luar kampus.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Elba Damhuri
Kegiatan kemahasiswaan di IAIN Bukittinggi tetap berjalan seperti biasa, meski polemik tentang pembatasan cadar masih bergulir.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Kegiatan kemahasiswaan di IAIN Bukittinggi tetap berjalan seperti biasa, meski polemik tentang pembatasan cadar masih bergulir.

REPUBLIKA.CO.ID  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatra Barat, masih bersikukuh menjalankan kebijakan soal cadar di lingkungan kampus. Rektorat tak terpengaruh dengan derasnya desakan dari berbagai pihak agar IAIN Bukittinggi mencabut kebijakan pembatasan penggunaan cadar di dalam kampus.

Kepala Biro Administrasi Umum dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, mengatakan, rektorat memilih melakukan mediasi dengan organisasi masyarakat (ormas) Islam yang sempat mengajukan tuntutan. Alasannya, sejak awal, rektorat tidak pernah menerbitkan surat larangan untuk bercadar.

Kebijakan yang dijalankan kampus, kata Syahrul, adalah meminta dosen dan mahasiswi menjalankan kode etik berbusana di dalam kampus. Adapun saat berada di luar kampus, penggunaan gaya busana dikembalikan lagi kepada masing-masing individu.

“Jadi, kalau diminta cabut aturan, yang akan kami cabut itu apa? Kami tidak melarang. Yang kami minta, proses belajar mengajarnya sesuai kode etik. Kalau di luar kampus, silakan,” kata Syahrul, Rabu (21/3).

Rektorat, ujar Syahrul, masih menggelar musyawarah internal kampus untuk merumuskan respons atas tuntutan ormas Islam. Dia menyayangkan bila ada ancaman atau intimidasi terhadap kampus yang sedang berupaya menjalankan kewenangannya.

Kok, seolah kampus kami tidak Islami. Kami tidak melanggar syariat Islam. Dibilang ada ancaman 3x24 jam, kok kayak kampus ini apa,” katanya.

IAIN Bukittinggi, Syahrul melanjutkan, meyakini jalan mediasi masih bisa dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan ormas Islam. Apalagi, IAIN Bukittinggi juga tidak ingin adanya perpecahan di antara umat Islam, khususnya di Bukittinggi.

“Upaya kami, melakukan mediasi,” kata dia.

Pada Senin (19/3) perwakilan dari 19 ormas Islam dan elemen masyarakat adat di Sumatra Barat memberikan waktu 3x24 jam bagi IAIN Bukittinggi untuk mencabut aturan tentang pembatasan cadar di lingkungan kampus. Perwakilan ormas Islam, Buya Busra Khatib Alam, menegaskan, apabila dalam tiga hari ke depan pihak kampus tidak mencabut larangan cadar atau memberikan respons yang memuaskan, akan ada aksi massa lebih besar dari ormas Islam.

“Umat sudah tak tahan melihat diskriminasi terhadap simbol Islam yang dipandang sebelah mata oleh kampus demi kode etik yang tidak berkeadilan itu,” ujar Buya Busra.

Pelarangan bercadar di kampus juga membuat salah satu dosen Ushul Fiqih di Fakultas Ekonomi dan Bisnis IAIN Bukittinggi, Gusrizal Gazahar, menyampaikan surat pengunduran diri. Gusrizal yang juga Ketua MUI Sumatra Barat menyebutkan, pengunduran dirinya sebagai sikap atas kebijakan pelarangan cadar di kampus. Kebijakan itu tak sejalan dengan pandangan yang dia miliki.

Syahrul menyatakan, rektorat belum menanggapi surat pengunduran diri Gusrizal kendati sudah menerima surat pengunduran diri yang bersangkutan. Hingga kemarin, rektorat belum memutuskan akan mengabulkan pengunduran diri Buya Gusrizal atau justru ada langkah lain untuk meredam polemik yang terjadi.

“Kemarin itu kami baru sebatas menerima surat beliau (Buya Gusrizal). Belum diputuskan bagaimana selanjutnya,” kata Syahrul.

Pada Selasa (20/3) sekitar 5.000 mahasiswa IAIN Bukittinggi menggelar aksi long march di kampus mereka, mulai dari depan Gedung Rektorat hingga Student Center IAIN Bukittinggi. Aksi yang dimotori oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) IAIN Bukittinggi tersebut bertujuan menolak adanya intervensi pihak luar kampus terhadap kebijakan yang dijalankan kampus.

Ketua DEMA IAIN Bukittinggi Beni Hari Mulia menerangkan, aksi yang dijalankan itu murni didasari kemauan mahasiswa tanpa ada dorongan pihak rektorat. “Kami tidak ingin kampus kami diintervensi oleh pihak luar. Ini akibat dari pemberitaan yang ada di media sosial,” ujar Beni.

Beni menilai, wajar bila kampus sebagai ranah sivitas akademika memiliki kebijakan sendiri. Dengan adanya pemberitaan di luar, kata dia, aktivitas mahasiswa di kampus sudah terganggu.

“Teman-teman sangat terganggu dengan adanya intervensi dan provokasi yang ada di luar. Kami berharap, adanya aksi ini bisa mengurai masalah yang ada,” ujarnya.

Beni juga menyayangkan pemberitaan di media saat ini yang cenderung menyudutkan kampusnya. Ia meminta media massa bisa memberitakan polemik cadar di IAIN Bukittinggi secara objektif. “Jangan beritakan yang tidak benar dan menyudutkan kampus,” kata Beni.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Hakimul Ikhwan berpandangan, polemik pelarangan penggunaan cadar di IAIN Bukittinggi telah memunculkan beragam pendapat tentang cadar. Pendapat yang ada bukan hanya berasas pada doktrin agama, tetapi juga hal lain, seperti hak asasi manusia (HAM) dan budaya. Perdebatan yang mengarah pada isu budaya, kata dia, berhulu pada dua kemungkinan, yaitu pendapat positif maupun negatif.

“Kalau menurut saya, cadar adalah salah satu produk kebudayaan karena Islam juga banyak sekali mempraktikkan suatu kebudayaan,” kata Hakimul.

Dia melanjutkan, pengaplikasian budaya menjadi syariat agama tidak selalu berakhir negatif. Hal ini juga dapat menjadikan agama sebagai referensi untuk mengontrol budaya ataupun bentuk perlawanan dari sebuah rezim yang mengekang.

 

(dea alvi soraya, Pengolah: eh ismail).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement