Kamis 22 Mar 2018 04:05 WIB

Suara Hati Mahasiswa Dosen Bercadar Hayati

Pendapat mahasiswa soal dosen mereka yang mengenakan cadar terbelah.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ani Nursalikah
Kegiatan kemahasiswaan di IAIN Bukittinggi tetap berjalan seperti biasa, meski polemik tentang pembatasan cadar masih bergulir.
Foto:
Kegiatan kemahasiswaan di IAIN Bukittinggi tetap berjalan seperti biasa, meski polemik tentang pembatasan cadar masih bergulir.

Ia mengaku sebetulnya bermasker bukanlah pilihan yang melegakan hatinya. Namun, cara ini dianggap menjadi solusi atas pro-kontra yang belakangan muncul akibat kebijakan kampus dalam membatasi pemakaian cadar. Dirinya memilih mengenakan masker untuk menghindari konsekuensi akademik dari kampus.

"Kami memakai masker karena ini jalan tengah dari masalah. Setelah awalnya kami dipanggil (oleh kampus)," ujarnya.

Ia sendiri tak ingin terlalu terseret polemik yang ada soal cadar. Baginya, menggunakan masker merupakan siasat mempertahankan cara berbusana yang ia yakini. Menurutnya, hingga saat ini tidak ada tekanan apa pun pihak kampus yang berpengaruh kepada sanksi akademik. Meski begitu, ia mengaku ada kawannya sesama pengguna cadar yang mendapat tekanan akademik akibat keputusannya bercadar.

"Teman yang lain mereka lebih banyak tekanan. Kawan saya mengaku kalau keputusannya bercadar dikaitkan dengan perkuliahan dia," katanya.

Ia juga mengungkapkan, sikap mahasiswa dalam menghadapi kebijakan polemik bercadar pun terbelah. Sebagian mendukung, sebagian lagi menolak. Meski begitu, lanjutnya, kondisi saat ini lebih banyak mahasiswa yang memilih 'jalan tengah'.

photo
Lebih dari 100 mahasiswa IAIN Bukittinggi membubuhkan tanda tangan di atas poster bertuliskan Kami Mahasiswa IAIN Bukittinggi Tolak Berita Hoaks. Aksi mahasiswa pada Jumat (16/3) pagi tadi bertepatan dengan digelarnya jumpa pers oleh rektorat terkait polemik cadar. Sumber: Republika/Sapto Andika Candra

"Sebetulnya mereka mengaku netral. Namun pada akhirnya terlihat kebanyakan pro kampus," katanya.

Suara lain disampaikan oleh Paramita, seorang mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris yang juga mahasiswi Hayati. Menurutnya, tidak salah ketika kampus mengimbau Hayati tidak mengenakan cadar ketika mengajar. Menurutnya, akan lebih optimal ketika wajah Hayati bisa terlihat untuk memperjelas pronounciation (pengucapan) kata atau kalimat berbahasa Inggris yang disampaikan Hayati.

"Ada sebagian kawan kami yang terganggu dengan keputusan Ummi. Tapi nggak bisa katakan apa-apa. Karena penilaian beliau yang berikan, kami takut penilaian kami kena imbas kalau protes," jelas dia.

Paramita mengakui sejak awal Hayati telah meminta izin kepada para mahasiswa ketika memutuskan bercadar. Namun, katanya, sebagian mahasiswa dan mahasiswi yang tidak sepakat dengan keputusan itu tidak bisa leluasa melarang Hayati karena ada perasaan takut protes mereka berimbas pada nilai.

"Namun ada juga yang mendukung. Cadar itu pro dan kontra sih ya. Karena Ummi ini mengajar speaking jadi kurang efektif menggunakan niqab," jelasnya.

Hingga saat ini IAIN Bukittinggi masih bersikukuh menjalankan kebijakannya membatasi penggunaan cadar di kampus. Kampus berpandangan penggunaan cadar mengurangi efektivitas materi yang disampaikan. Meski begitu, IAIN Bukittinggi menolak penggunaan diksi 'pelarangan' terkait kebijakan soal cadar ini. Alih-alih menggunakan kata melarang, kampus memilih menggunakan 'imbauan' bagi dosen dan mahasiswi agar tidak mengenakan cadar di dalam lingkungan akademik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement