Jumat 16 Mar 2018 12:11 WIB

IAIN Bukittinggi Kukuh Jalankan Kebijakan Soal Cadar

Kampus berpedoman pada aturan tentang kewenangan kampus mengatur diri sendiri.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ani Nursalikah
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Foto: Humas UNP
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pimpinan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi tetap kukuh menjalankan kebijakan yang mengatur tata cara berbusana dosen dan mahasiswi, khususnya tentang cadar. Kukuhnya kampus menjalankan imbauan tidak bercadar di dalam kampus tetap dilakukan meski ada banyak desakan agar kampus mencabut aturan tersebut.

Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida menjelaskan kampus masih dalam tahap mengimbau seluruh dosen dan mahasiswa mematuhi komitmen kode etik yang sudah disusun bersama. Ridha berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang menyinggung kewenangan kampus mengatur dirinya sendiri sepanjang tetap memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Ridha menambahkan, kampus juga masih berupaya melakukan pendekatan kepada Hayati Syafri, sosok dosen perempuan yang terpaksa diliburkan dari aktivitas mengajar karena keputusannya mengenakan cadar. Ridha menegaskan hingga saat ini Hayati masih berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masih menerima gaji sebagai dosen.

"Kami masih memberi waktu kepada yang bersangkutan untuk menyelesaikan. Kode etik ada dalam aturan berpakaian, pakaian formal yang sesuai dengan syariat Islam," kata Ridha dalam konferensi pers di kampus IAIN Bukittinggi, Jumat (16/3).

IAIN Bukitinggi, ujar Ridha, telah menjalankan seluruh prosedur administrasi dalam 'menertibkan' Hayati agar taat aturan kampus. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi telah lebih dulu melakukan pemanggilan terhadap Hayati untuk mengklarifikasi keputusan Hayati bercadar saat menjalankan tugas sebagai dosen.

Setelahnya, dekan memberikan teguran tertulis karena Hayati masih tidak mengubah gaya berbusananya. Surat teguran tersebut menegaskan keputusan Hayati mengenakan cadar tidak sesuai dengan kode etik berpakaian bagi dosen yang mengajar di IAIN Bukittinggi.

"Rektor mendisposisi surat dekan FTIK dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Hayati Syafri. Dewan Kehormatan sepakati panggil Hayati pada Januari lalu untuk diskusikan hal ini," ujar Ridha.

Sidang yang dilakukan Dewan Kehormatan kampus dilakukan pada 15 Januari 2018 lalu. Hasilnya adalah permintaan kepada Hayati agar dia memakai pakaian formal sesuai syariat Islam dan sesuai dengan ketentuan kampus. Kampus juga menggunakan pedagogi untuk mendesak Hayati kembali menggunakan gaya berbusana sebelumnya.

"Sebagai pendidik harus ada kemampuan pedagogik dan interaksi sosial. Secara pedagogik, beliau dianggap tidak maksimal dalam menyampaikan materi pembelajaran, apalagi yang diajarkan Bahasa Inggris yang memerlukan ekspresi," katanya.

Intinya, Dewan Kehormatan kampus mengimbau Hayati tidak menggunakan cadar dalam proses pembelajaran di IAIN Bukittinggi. Berdasarkan keputusan sidang terakhir, pimpinan kampus memberikan waktu bagi Hayati beristikharah dan memutuskan apakah ia tetap mengenakan cadar atau tidak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement