Sabtu 03 Feb 2018 06:35 WIB
Memperingati Haul ke-26 Sang Singa Karawang-Bekasi (2)

Kiai 'Laskar Rakyat Bekasi' Ini Komandan Hizbullah

Di masa revolusi dia bersahabat dengan panglima besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
KH Noer Alie
Foto: blogspot
KH Noer Alie

REPUBLIKA.CO.ID,  Selama di Tanah Suci, KH Noer Alie menyibukkan waktunya untuk beribadah, belajar, dan berorganisasi. Sampai waktunya kerinduan pada Indonesia tak terbendung. Saat itu, sudah enam tahun lamanya dia bermukim di Haramain.

Sebelum kembali ke Tanah Air,KH Noer Alie bersurat kepada gurunya, Syekh Ali al-Maliki. Jawaban dari sang guru meneguhkan semangat anti-kolonialisme yang memang sudah lama tertanam dalam jiwanya.

"Kalau kamu ingin pulang, silakan pulang. Tetapi ingat, jika bekerja, jangan menjadi seorang penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat," demikian seperti dikutip dari Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011:95-96).

KH Noer Alie tiba di Jakarta pada awal 1940-an. Hal pertama yang dilakukannya adalah mendirikan pesantren (yang kemudian bernama At-Taqwa) di kampung halamannya, Bekasi.

Selain mengajar, di sinilah dia menanamkan tekad melawan penjajahan kepada para muridnya. Tidak jarang, sang kiai menjadi sasaran intelijen pemerintah kolonial Belanda. Di masa zaman pendudukan Jepang, kekuatan Belanda hilang bagaikan disapu angin.

KH Noer Alie termasuk kalangan yang didekati pemerintah Jepang semata-mata untuk mendapatkan dukungan demi kemenangan Negeri Matahari Terbit dalam kancah Perang Asia Timur Raya. Dia memandang, inilah kesempatan bagi generasi muda Indonesia untuk menimba pengetahuan militer modern. Dengan begitu, mereka akan siap bilamana Indonesia sudah merdeka dan perlu pertahanan yang memadai.

KH Noer Alie memerintahkan para santrinya untuk ikut dalam pelbagai laskar, misalnya Heiho, Keibodan, dan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk Jepang. Dia sendiri menjadi ketua Laskar Rakyat Bekasi serta komandan Hizbullah Bataliyon III Bekasi.

Sampailah pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tanggal 17 Agustus 1945. Selang satu bulan kemudian, lautan massa terjadi di Lapangan Ikada (kini Silang Monumen Nasional, Jakarta). Mereka hadir untuk menunjukkan dukungan total akan tegaknya RI. KH Noer Alie juga ikut mengerahkan sejumlah massa dari timur Jakarta dalam pertemuan akbar itu.

Baca juga: Anak Petani Ini adalah Pahlawan Nasional

Dalam masa revolusi, dia bersahabat dengan panglima besar Jenderal Sudirman serta Bung Tomo. Sebelum pecah Pertempuran 10 November di Surabaya, sang orator ulung itu berulang kali menyebutkan nama Noer Alie dengan sebutankiai haji. Padahal, umumnya ulama Betawi (Melayu) dipanggil dengan sebutan Guru. Sejak saat itu, nama Noer Alie lebih sering disapa dengan Kiai Haji (KH), sebutan yang khas Jawa.

Beberapa hari setelah pertempuran dahsyat itu, pada 29 November tentara Belanda mulai merangsek ke daerah Bekasi-Karawang. Mantan penjajah itu membonceng pada pasukan Sekutu, yang datang ke Indonesia dengan niat memulihkan keadaan usai kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

KH Noer Alie memerintahkan para pendukungnya untuk mundur teratur dari wilayah yang telah dikuasi Belanda. Ada pula beberapa pendukungnya yang tersisa di Sasak Kapuk yang lantas gugur sebagai syuhada.

Pada Juli 1947, agresi militer Belanda berlangsung. Kekuatan militer RI di Jawa Barat terpaksa mundur. Untuk menjaga koordinasi, KH Noer Alie menghadap otoritas militer waktu itu, Jenderal Urip Sumoharjo (sumber lain menyebut: Jenderal Sudirman) di Yogyakarta.

Sang kiai disarankan agar tetap melanjutkan gerilya di Jawa Barat, meskipun tanpa embel-embel tentara nasional. Dengan strategi ini, para pejuang yang dipimpin KH Noer Alie tampak seperti rakyat biasa sehingga mengecoh pasukan Belanda.

Tiba di Karawang, KH Noer Alie membentuk dan sekaligus mengomandoi Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah untuk Jakarta Raya. Pada masa inilah dia kembali menjadi sasaran Belanda. Namun, tidak pernah sekali pun mereka menangkapnya. Inilah asal mula julukan lain bagi, KH Noer Alie, yaitu Belut Karawang-Bekasi.

Pada 1949, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Laskar-laskar rakyat pun mulai membubarkan diri. Sampai di sini, KH Noer Alie kembali berfokus pada dunia pendidikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement