Sabtu 20 Jan 2018 05:00 WIB

Perempuan Ini di Balik Nama Besar Pangeran Diponegoro

Ia mewarisi bakat militer dari tokoh berkembangnya Islam di Bima, Sultan Abdul Qahir.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agus Yulianto
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannay di tepisan sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.
Foto: KTLV
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannay di tepisan sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.

REPUBLIKA.CO.ID, Membahas ki prah perempuan dalam sejarah Indo nesia tidak akan ada habis nya. Meskipun sulit menyata kan secara pasti jumlah tokoh-tokoh perempuan, harus diakui peranan perempuan juga besar, baik pada masa prakemerdekaan ataupun pascakemerdekaan. Nyai Ageng Tegalrejo adalah satu di antara beberapa tokoh pe rempuan di Jawa yang punya andil besar dalam sejarah negeri ini.

Ia adalah pejuang sekaligus ulama dan nenek buyut dari pahla wan nasional Pangeran Dipone goro. Ia juga berada dibalik pembentukan karakter kepribadian Pangeran Diponegoro Nyai Ageng Tegalrejo yang lahir pada 1735 ini merupakan istri dari Sultan Hamengku Buwono I. Sosoknya dikisahkan sebagai perempuan pejuang. Ia mewarisi bakat militer dari tokoh ber kembangnya Islam di Bima, Sultan Abdul Qahir. Dalam Pe rang Giyanti, Ia ikut mendam pingi suaminya bergerilya.

Nyai Ageng Tegalrejo merupakan anak dari Kiai Ageng Der poyudhi dari Majangjati, Sragen, kiai masyhur pada waktu itu. Kiai Ageng Derpoyudho sendiri ada lah putra dari Kiai Ageng Da tuk Sulaiman atau sering akrab disebut Kiai Sulaiman Bekel. Kealimannya juga tak lepas dari darah yang mengalir dari silsilah keturunannya.

Terkait kisah Nyai Ageng Te galrejo dalam kehidupan keluarga Keraton Ngayogyakarta, pada suatu waktu ia memilih keluar dari keraton setelah suaminya mangkat karena hubungan buruk dengan anaknya Sundoro (kelak HB II). Ia kemudian memilih ting gal di Tegalrejo, sebuah desa yang terletak di tenggara Keraton. Nyai Ageng Tegalrejo berani mening galkan Istana karena melihat anaknya yang dinilai mulai menyepelekan perintah agama. Di Tegalrejo, Nyai Ageng Tegalrejo giat bertani tanpa meninggalkankan ibadah.

Sebagai keturunan bangsawan Jawa, kehidupannya juga tidak bisa dilepaskan dari filosofi dan tradisi Jawa. Dalam sebuah artikel bertajuk "Ratu Ageng Tegalrejo: Wanita Perkasa yang Tercuri Sejarah" disebutkan bahwa Nyai Ageng Tegalrejo memegang filosofi Jawa dalam memilih pasangan hidup, yaitu mempertimbangan bebet, bibit, dan bobot.

Ia pernah menjadi komando Korp Prajurit Estri yang terdiri da ri para pendekar perempuan. Di bawah kepemimpinannya, Korp Prajurit Estri ini mengalami kemajuan. Bahkan beberapa ta hun menjelang Perang Jawa, korps ini membuat utusan negara dan Eropa terkagum-kagum dengan kemampuan para pendekar perempuan dalam menaiki kuda, melepaskan tembakan salvo dan ketepatan membidik.

Di samping itu, cucu dari Ki Ageng Sulaiman Bekel Jamus ini dikenal sebagai perempuan yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan ia tularkan kepada Pangeran Diponegoro sebagai orang yang diasuhnya. Karena itu, dalam beberapa sumber disebutkan Nyai Ageng Tegalrejo mempunyai peran besar dibalik nama besar Pangeran Diponegoro. Diponegoro kemudian menjadi sosok yang banyak mempelajari kitab-kitab fikih melalui para ulama yang sering diundang ber diskusi di Balairung, kediamannya di Tegalrejo.

Diponegoro mempelajari kitab Muharrar karya Imam ar- Fari'i dan Lubab al-Fiqh karya Al-Mahamili. Kitab Taqrib karya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab karya Imam Zakari yah al-Anshari merupakan favo rit bacaannya. Di tangan Nyai Ageng Tegalrejo, Pangeran Dipo negoro menjadi mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan aksara pegon. Nyai Ageng Tegalrejo juga yang memperkenalkan Pangeran Diponegoro terhadap tradisi akademis Tarekat Syattari yah melalui kitab Tuhfat al-Mursalahila Ruhan-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.

Peran besar Nyai Ageng Te gal rejo sangat terasa pada diri Diponegoro. Itu terlihat ketika sosok pembimbingnya wafat pa da 17 Oktober 1803. Ia merasa ke hilangan pembimbing utama sejak usia remaja hingga dewasa. Kendati demikian, rasa kehilangannya tersebut tak membuat Diponegoro lemah. Ia menjadi lebih dekat dengan rakyat.  ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement