Selasa 26 Dec 2017 22:15 WIB

Lobi-Lobi Yahudi Targetkan Palestina

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Peta Palestina 1946-2000.
Foto: Juancole.com
Peta Palestina 1946-2000.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Israel dideklarasikan pada 1948, sekitar 685 ribu imigran Yahudi sudah membanjiri wilayah pendudukan itu. Pada akhirnya, kedatangan orang-orang Yahudi secara sistematis mengusir orang-orang Arab (Palestina) dari tanah airnya sendiri. Demikian uraian PR Kumaraswamy dalam bukunya yang ensiklopedis, The A to Z of the Arab-Israeli Conflict.

Aliyah (imigran Yahudi di Palestina), yang lantas menjadi okupasi tidak akan terjadi tanpa zionisme politik. Ideologi tersebut mengatasnamakan kerinduan kalangan mistikus Yahudi yang berabad-abad lamanya melangsungkan tradisi ziarah ke Yerusalem. Kalangan salik ini datang tanpa niat politik, apatah menjajah bangsa tempatan.

Mereka hanya konsen pada kepercayaan akan datangnya Juru Selamat di bukit Zion kelak pada akhir zaman. Dengan demikian, zionisme yang diterapkan Israel berbeda daripada zionisme keagamaan sebagaimana para salik Yahudi silam. Sejarawan Prancis, Roger Garaudy (1913-2012), membedah perbedaan esensial ini di dalam bukunya, The Case of Israel.

Tokoh kunci di balik zionisme politik adalah Theodor Herzl (1860-1904). Empat belas tahun setelah peristiwa aliyah pertama, mantan jurnalis itu menerbitkan kumpulan tulisan, Der Judenstaat (Negara Yahudi). Dia menegaskan perlunya pendirian sebuah negara Yahudi sebagai tanah air bagi kaum Yahudi yang hidup berdiaspora sebagai minoritas di penjuru dunia.

Der Judenstaat menjadi rujukan utama dalam Kongres Zionis Internasional Pertama yang digelar di Basel, Swiss, pada 1897.Ha sil kongres ini, antara lain, adalah pembentukan Organisasi Zionis Internasional dengan Herzl selaku presiden pertamanya.

Tanpa tedeng aling-aling, Herzl menunjuk wilayah Palestina sebagai lokasi kelak berdirinya negara Yahudi. Hal ini tidak berarti Herzl termasuk kalangan religius, sebagaimana kaum agamis lainnya yang merindukan Juru Selamat di bukit Zion.

Alih-alih demikian, menurut Garaudy, Herzl semata-mata memakai simbol keagamaan Yahudi untuk memuluskan suatu ambisi politik. Lebih lanjut, penulis Prancis itu menegaskan Herzl bukanlah seorang Yahudi, melainkan agnostik.

Herzl lantas memanfaatkan relasinya yang luas dengan tokoh-tokoh internasional, baik Yahudi maupun non-Yahudi.Der Judenstaat sempat dibawanya kepada Baron Edmond de Rothschild.

Awalnya, bankir raksasa yang berdarah Yahudi ini menolak gagasan Herzl karena dinilainya terlalu berisiko. Herzl lantas menunjukkan proposalnya ini kepada bankir Prancis keturunan Yahudi, Maurice de Hirsch. Di satu sisi, de Hirsch setuju dengan perlunya tanah air bagi kaum Yahudi di abad ke-20. Namun, di sisi lain dia menyarankan Herzl agar lokasinya bukan Palestina, melainkan Argentina.

Ini rupanya tidak sekadar saran. De Hirsch merupakan pendiri Asosiasi Kolonisasi Yahudi. Melalui lembaga itu, dia telah mendatangkan puluhan hingga ratusan ribu orang Yahudi ke Argentina. Pada awal abad ke-20, asosiasi ini diketahui memiliki lahan seluas lebih dari 600 ribu hektare di negeri Amerika Selatan tersebut. Bagaimanapun, Herzl tidak setuju dengan saran de Hirsch dan bersikeras menyasar Palestina.

Lobi Yahudi mendekati pemerintah Inggris Raya. Kerajaan itu secara sembunyi- sembunyi menyarankan kepada Organisasi Zionis Internasional agar memilih Uganda sebagai lokasi negara Yahudi di masa depan. Sejak 1894 hingga 1962, negeri yang terletak di Benua Afrika itu merupakan jajahan Inggris Raya. Namun, lobi Yahudi tetap keras kepala menarget Palestina.

Alasannya jelas karena pergerakan ini ingin mencitrakan zionisme politik sebagai jawaban kerinduan para salik Yahudi atau para pengharap hadirnya Juru Selamat di bukit Zion. Padahal, tegas Garaudy lagi, Herzl sendiri menampik kepercayaan akan adanya hari kiamat.

Lobi Yahudi tidak hanya tertuju pada kekuatan Barat, melainkan juga Kesultanan Utsmaniyah sebagai pemegang kendali atas Palestina. Saat itu, Sultan Abdul Hamid II (wafat 1918) berkuasa. Lobi Yahudi mendekati sang sultan agar mau bekerja sama untuk mewujudkan Palestina sebagai tanah air Yahudi. Bahkan, Herzl sempat menyampaikan langsung cita-cita zionisme politik ini kepada petinggi kesultanan di Istanbul.

Herzl kemudian berjanji kepada sang sultan bahwa lobi Yahudi akan membantu pelunasan utang-utang Utsmaniyah saat itu.Namun, Herzl ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II. Kepada pe mim pin zionisme internasional itu, pemimpin Muslim ini mengirimkan surat bernada keras: Saya tidak akan menjual sejengkal pun tanah (Palestina) kepada Anda karena tanah itu bukan milik saya, melainkan milik rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement