Kamis 16 Nov 2017 18:45 WIB

Dokter Penyakit Hati

Khatib atau penceramah memberikan tausiyah. (ilustrasi)
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Khatib atau penceramah memberikan tausiyah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kala penyakit fisik datang, kita bisa berjalan ke klinik-klinik. Menjumpai dokter yang pintar kemudian mengeluhkan rasa sakit yang diderita. Dokter akan mendiagnosa. Melihat tanda dan gejalanya yang tampak di sekujur tubuh.

Jika diagnosanya tepat sang dokter akan memberikan obat. Entah itu suntikan, entah pil pahit yang harus kita telan. Kita juga dianjurkan untuk rehat. Bisa sejenak, bisa berhari-hari. Terkadang kita dipaksa menginap di rumah sakit demi mempercepat kesembuhan. Jika penanganan penyakit fisik bisa diramal, lalu bagaimanakah dengan penyakit hati?

Ibnu Qudamah menjentikkan ilmu berharga bab penyakit hati. Menurutnya, penyakit hati ini tersembunyi. Boleh jadi pemiliknya tidak tahu, karena itu dia mengabaikannya. Kalaupun tahu, mungkin dia tidak sabar menanggung pahitnya obat, karena obatnya adalah menentang nafsu. Kalaupun dia sabar, belum tentu dia mendapatkan dokter yang bisa mengobatinya.

Dokter di sini, kata Ibnu Qudamah, adalah para ulama. Sementara, penyakit pun sudah menjangkiti mereka. Dokter yang sakit jarang yang mau mengobati orang lain yang sakit, sehingga penyakit menjadi menyebar ke mana-mana dan ilmu pun hilang.

Obat hati dan penyakit hati sama-sama dibiarkan, manusia hanya sekedar melakukan ibadah-ibadah zhahir, sedangkan di dalam batinnya hanya sekedar tradisi. Inilah yang disebut tanda sumber penyakit.

Untuk mengetahui keadaan, agar segar kembali setelah berusaha melakukan pengobatan ialah dengan melihat jenis penyakitnya. Pengobatan penyakit kikir ialah dengan mengeluarkan harta, tapi tidak perlu berlebih-lebihan dan boros. Penyakit lain dengan pengobatannya sendiri-sendiri, seperti panas dengan dingin agar tidak semakin panas dan tidak menjadi terlalu dingin, agar tidak menjadi penyakit baru. Yang dituntut adalah jalan tengah.

Jika engkau ingin melihat jalan tengah ini, lihatlah kepada dirimu sendiri. Jika menumpuk harta dan mempertahankannya lebih engkau sukai dan lebih mudah daripada mengeluarkannya, sekalipun kepada orang yang berhak, maka ketahuilah bahwa yang ada pada dirimu adalah sifat kikir.

Maka, obatilah jiwamu dengan mengeluarkan harta itu. Jika mengeluarkan harta itu kepada orang, yang lebih engkau sukai, maka tahanlah sedikit harta itu, karena yang ada di dirimu adalah pemborosan. Janganlah engkau lebih condong untuk mengeluarkan harta atau menahannya. Buatlah harta itu mengalir seperti air di sisimu. Engkau tidak menuntut air itu untuk berhenti bukan untuk suatu keperluan, atau mengalirkannya secara deras untuk orang yang memerlukannya. Setiap hari yang bisa seperti itu akan mendatangi Allah dalam keadaan selamat.

Seseorang harus terbebas dari segala akhlak (jelek), agar dia tidak mempunyai hubungan dengan sesuatu pun dari keduniaan, agar jiwa dapat meninggalkan dunia dalam keadaan memutuskan hubungan dengannya, tidak menoleh kepadanya dan tidak mengharapkannya. Pada saat itu dia akan kembali kepada Rabb-nya sebagaimana kembalinya jiwa yang muthma'inah.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement