Ahad 22 Oct 2017 10:00 WIB

Heroisme Santri pada Peristiwa 10 November

Tentara Gurkha bertempur di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Foto: dok. Anri
Tentara Gurkha bertempur di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa

Situasi kian memanas. Pada 19 September 1945, terjadi insiden Hotel Yamato, Surabaya. Rakyat Surabaya, utamanya para pemuda, berdatangan ke sana lantaran melihat bendera kebangsaan Belanda berkibar di pucuk bangunan hotel tersebut. Inilah tandanya tentara Belanda sama sekali tidak menghormati fakta historis Proklamasi 17 Agustus 1945.

Keributan tak terhindarkan. Seorang kader Pemuda Anshor, Cak Asy’ari, berupaya mencapai ketinggian Hotel Yamato. Lantas, dia berhasil mencapai Tri Warna dan merobek bagian berwarna biru dari kain bendera itu. Merah-Putih kembali berkibar.

Sepanjang September 1945, situasi di Surabaya betul-betul di atas ambang emosi. Laskar rakyat Indonesia terus berupaya mengambil alih persenjataan dari gudang-gudang yang dahulunya milik tentara Jepang. Di antara pergerakan bersenjata itu adalah Barisan Hizbullah dan Sabilillah yang terus melakukan konsolidasi untuk mempersiapkan strategi terbaik.

 

Sebagai informasi, keduanya dibentuk atas prakarsa KH Abdul Wahid Hasyim kala Jepang masih bercokol di Indonesia. Baik Hizbullah maupun Sabilillah merupakan wadah perjuangan fisik umat Islam, khususnya kaum santri, di zaman mempertahankan kemerdekaan.

Situasi kian memanas. Sejak 15 Oktober 1945, pecah pertempuran lima hari di Semarang, Jawa Tengah, antara sisa pasukan Jepang dan laskar rakyat setempat. Beberapa hari kemudian, PBNU menggelar rapat konsolidasi se-Jawa dan Madura di Surabaya. Hasilnya mengukuhkan Resolusi Jihad, yang merupakan penguatan atas fatwa yang pada 17 September 1945 telah dikeluarkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.

Memasuki November, situasi semakin mendekati perang besar. Inilah pertaruhan eksistensi Republik Indonesia, yang memproklamasikan kemerdekaannya bukan lantaran hadiah penjajah, melainkan perjuangan mati-matian dengan darah dan air mata para pahlawan.

Baca Juga: Jihad Santri Melawan Penjajah

                 Mengupasa Asal Usul Santri dan Pesantren

Pada 7-8 November 1945, Resolusi Jihad yang digaungkan pertama kali oleh KH Hasyim Asy’ari dikukuhkan dalam konteks yang lebih luas, yakni Kongres Umat Islam (KUI) di Yogyakarta. Ini juga sebagai respons atas ultimatum Sekutu.

Sehari sebelum pecah pertempuran akbar di Surabaya, KH Hasyim Asy’ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Perintahnya jelas: tidak akan menyerah dalam mempertahankan kemerderkaan RI.

KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Di antara para komando resimen yang membantu KH Abbas adalah sebagai berikut. KH Abdul Wahab Hasbullah, Sutomo (Bung Tomo), Roeslan Abdulgani, KH Mas Mansur, dan Doel Arnowo.

Bung Tomo berpidato dengan disiarkan melalui jaringan radio. Pidatonya itu begitu membakar semangat juang rakyat Indonesia yang sedang membuktikan jihad fi sabilllah mempertahankan kedaulatan Indonesia sampai titik darah penghabisan. Suara Bung Tomo diakhiri dengan pekik takbir: “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Demikianlah, tanggal 10 November 1945 akan selalu dikenang sebagai Hari Pahlawan Nasional. Resolusi Jihad yang digagas KH Hasyim Asy’ari menandakan ketegasan kalangan santri, serta umat Islam Indonesia pada umumnya, untuk tulus berjuang demi kemerdekaan negeri ini.

Ketulusan hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Pada hari itu, ribuan pejuang menemui syahid. Namun, kekuatan laskar rakyat berhasil mengacaukan strategi Tentara Sekutu. Tercatat, saat itu tiga unit pesawat tempur RAF Inggris jatuh ditembak laskar rakyat Indonesia. (Editor: Erdy Nasrul)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement