Kamis 12 Oct 2017 13:15 WIB

Rekonsiliasi Hamas-Fatah Perkuat Perjuangan Palestina

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agung Sasongko
Faksi gerakan Islam di Palestina: Hamas dan Fatah
Faksi gerakan Islam di Palestina: Hamas dan Fatah

REPUBLIKA.CO.ID, AJAKARTA -- Upaya rekonsiliasi antara kekuatan politik terkemuka Palestina, gerakan Fatah dan Hamas yang telah lama terhenti disambut kembali dengan harapan besar. Mengingat banyak usaha yang gagal di masa lalu untuk mempertemukan kedua belah pihak dan menyetujui beberapa kesamaan.

Tidak mengejutkan jika usaha terakhir Pemerintah Mesir untuk mendorong rekonsiliasi Fatah dan Hamas mendapat lebih banyak skeptisisme daripada harapan. Namun, upaya terakhir ini adalah kesempatan yang lebih baik untuk berhasil daripada yang sebelumnya.

Seperti dilansir Arab News, Rabu, (11/10), Profesor Hubungan Internasional di Regents University London, Yossi Mekelberg menilai perpecahan yang sedang berlangsung di antara orang-orang Palestina merupakan hambatan utama bagi kemampuan mereka untuk secara politis melawan pendudukan Israel dan mendapatkan kredibilitas internasional.

Namun memang  penentuan nasib sendiri Palestina tidak pernah monolitik. Sepanjang tahun-tahun tersebut, mereka telah mencerminkan keragaman dalam masyarakat Palestina dalam hal pandangan, nilai, dan juga penyebaran geografis.Namun, sampai pada tahun 1980an elemen fundamentalis agama, masyarakat Palestina dan organ perwakilannya pada intinya sekuler dan lebih koheren dalam mencapai tujuan mereka.

Munculnya Hamas menjadi aliran sungai di panggung politik Palestina dan secara dramatis mengubahnya. Sejak saat itu telah berkembang Palestinian Liberation Organization (PLO) yang selama beberapa dekade dianggap sebagai satu-satunya wakil dari rakyat Palestina dan perjuangan mereka.

Pada tahun 2006, kurang dari 20 tahun sejak pembentukannya, Hamas memenangkan sebuah kemenangan mengejutkan dalam pemilihan Dewan Legislatif Palestina (PLC). Pemilu tersebut mewakili puncak gerakan politik, saat memenangkan lebih dari separuh kursi di legislatif Palestina.

Meskipun demikian, karena ideologi fundamentalisnya, penolakannya atas Persetujuan Oslo, dan penolakannya untuk meninggalkan perjuangan bersenjata, juga naiknya kekuasaannya  menimbulkan perpecahan di Palestina, permusuhan berdarah dengan Israel, dan boikot internasional.

Pada akhir konflik bersenjata yang mematikan, akhirnya 2007, muncullah pemerintahan ganda, satu di Tepi Barat dipimpin oleh Fatah, dan yang lainnya di Gaza dipimpin oleh Hamas. Sejak saat itu tidak ada pemilihan yang diadakan di Palestina, meninggalkan kedua pemimpin yang terpecah menderita defisit legitimasi yang parah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement