Jumat 06 Oct 2017 08:18 WIB

Granggang Kiai Subkhi: Kisah Persatuan TNI dan Umat Islam Melawan Penjajah

Lasykar bambu runcing di masa perang kemerdekaan.
Foto:
Lasykar rakyat tengah berada di stasiun Kroya.

Tak hanya para santri pesantren saja, orang tua mereka juga mendorong agar putranya yang menuntut ilmu di pesantren agar membuat bambu runcing yang nantinya akan disuwukan (didoakan) kepada Kiai Subkhi.

Pesantren Parakan di Kabupaten Temanggung ini tentu saja segera menjadi tujuan para pejuang yang datang dari seantero Jawa yang ingin memenangan perang. Dan tak hanya soal doa untuk bambu runcing. di antara mereka tak lupa juga banyak yang meminta agar tubuhnya bisa kebal tusukan dan sabetan senjata tajam, atau kebal dari terjangan peluru.

Dari kisah yang beredar di kalangan mantan pejuang Hizbullah, ‘karomah' bambu runcing Kiai Subkhi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subkhi berdiri di tengah halaman sembari memegang sebilah ‘granggang’. Tiba-tiba tepat di atas langit pesantrennya, melintaslah pesawat pengebom Belanda yang saat itu memang sangat ditakuti pejuang kemerdekaan. Pesawat itu oleh para pejuang diberi julukan ‘cocor merah’ karena bagian depan pesawat tersebut dilumuri cat berwarna merah.

Nah, karena kesal terhadap pesawat itu, tiba-tiba saja Kiai Subkhi mengangkat bambu runcing yang dipegangnya seraya mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat Cocor Merah yang tengah melintas di atas kepalanya.’’Allahu Akbar..!’’ kata Kiai Subkhi sembari mengarahkan bambu runcingnya.

Anehnya, entah karena apa, setelah takbir diteriakan dan bambu runcing diarahkan, pesawat Cocor Merah tiba-tiba terlihat oleng. Tak hanya itu, pesawat pengebom itu kemudian menukik kencang ke arah bumi. Semua santri pun terkesima. Dan beberapa jam kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat Cocor Merah yang terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa.

Kisah inilah yang kemudian meluas. Menteri agama di era Presiden Sukarno, KH Syaifuddin Zuhri pun mengisahkan: “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sundoro dan Sumbing..... Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.

“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo,  “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, “Laskar Pesindo” dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi.

Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.

KH Saefudin Zuhri yang juga ayah dari menteri agama Lukman Hakim Saefudin, bahkan sempat mengantarkan para terkemuka seperti KH AWahid Hasyim,  KH Zainul Arifin, dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. 

Sejak itulah Parakan di dalam masa perang kemerdekaan dikenal sebagai kota ‘ganggrang’ atau bambu runcing!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement